[caption id="attachment_201789" align="aligncenter" width="576" caption="Pemandangan Savana Desa Jampit dari Bukit Roti (Dok. Gerald PS)"][/caption]
Akhirnya, pendakian ke Kawah Ijen kembali dibuka Juni lalu! Mendengar kabar ini saya refleks memutar ulang panorama bukit-bukit kecil di atas bentangan permadani padang savana. Saya seolah-olah mencium aroma kopi arabika yang khas di tengah-tengah kebun strawberry, paprika dan beraneka bunga warna-warni. Lho kok, bukannya mengingat gagahnya gunung berkawah hijau atau mirisnya nasib para penambang yang beradu nyawa menambang belerang di dasar kawah?
Ya, dalam memori saya Ijen bukan hanya kawah, melainkan keindahan yang tak terlupakan akan manusia dan kemurnian alam di desa kecil di kakinya, bernama Jampit. Sayang saat tim Ekspedisi Cincin Api Kompas mengunjungi Ijen, keelokan Desa Jampit luput diulas. Maka untuk melengkapi rangkaian kisah cincin api pada gugusan Ijen, saya mengisahkan ulang rekaman dua kali perjalanan saya ke desa ini.
Jampit Delapan Tahun Lalu
Delapan tahun lalu menginjakkan kaki di Desa Jampit, saya dan teman-teman Mapala UI dalam keadaan kucel. Muka kami lelah karena memikul ransel-ransel seberat belasan bahkan puluhan kilo. Baju kami lepek serta baunya asem karena sudah berhari-hari tidak mandi. Maklum, setelah seminggu mendaki Gunung Pendil dan batal mendaki Gunung Rante, kami lanjut summit attack ke Kawah Ijen sehingga baru kali itu kami mencium kembali peradaban desa.
Di sanalah saya dan teman-teman sempat tercengang karena mengira sedang berada di dunia lain. Bayangkan, hampir setiap inci tanah di desa ini ditumbuhi rumput hijau dan berbagai jenis bunga beraneka warna. Halaman rumah penduduk juga tidak pernah kosong, melainkan ditanami kebun buah, sayur, apotek hidup, atau tanaman hias. Sementara itu, jalan setapaknya dipagari oleh deretan pohon pinus, cemara dan akasia. Siapapun tidak mengira bahwa pemandangan bak desa pedalaman Eropa ini bisa ditemukan di Kecamatan Sempol, Kabupaten Bondowoso.
Setelah melepaskan beban di punggung, seakan lupa rasa lelah kami langsung menyatukan diri dengan anak-anak dan penduduk. Air muka lelah hilang berganti tawa saat bermain bola kaki di SD, bercengkerama dengan penduduk, dan menikmati alam Jampit yang bersahaja. Beberapa teman pergi mengunjungi kebun kopi dan melihat-lihat kebun paprika. Pulangnya mereka dioleh-olehi paprika merah, hijau, dan kuning yang besar-besar juga segar.
Malam hari sambil putar-putar kampung, kami menemukan warung bakso yang sangaaat enak dan merasakan kopi arabika suguhan warga yang harum dan nikmat. Saya tidak suka kopi. Tapi malam itu saya menyeruputnya dan menghabiskan satu gelas.
[caption id="attachment_201772" align="aligncenter" width="576" caption="Jalan Utama Desa Jampit Delapan Tahun Lalu (Dok. Mapala UI)"]
[/caption] [caption id="attachment_201773" align="aligncenter" width="575" caption="Anak-anak SD Menyambut Rombongan Mapala UI yang Baru Tiba di Desa (Dok. Mapala UI)"]
[/caption] [caption id="attachment_201774" align="aligncenter" width="575" caption="Bermain Bola Voli Bersama Anak-anak SD (Dok. Mapala UI)"]
[/caption]
Napak Tilas Ijen - Jampit
Berbekal memori yang setiap detilnya tak lekang waktu, maka tahun lalu sebelum kawah Ijen ditutup, saya bersama tiga orang teman dan adik melakukan napak tilas dengan rute yang sama. Mendaki Kawah Ijen lalu bermalam di Jampit.