[caption id="attachment_192013" align="aligncenter" width="604" caption="Selamat Datang dalam Bahasa Yali (Kurima)"][/caption] Disaat Kota Wamena selalu dikaitkan dengan kata kekerasan dan perang, saya malah menjejakkan kaki di Wamena atau Lembah Baliem, salah satu lembah ternama di kalangan pengelana dunia, yang terletak di jantung Papua. Sebagaimana sebuah lembah besar, kota ini dikelilingi bukit batu, pasir putih dan di hiasi liukan sungai-sungai besar dengan rumah-rumah tradisional yang menyebar namun menyatu dalam lansekap alam.Legenda Lembah Baliem dan kekuatan budaya serta tradisi masyarakatnya yang banyak dibicarakan banyak turis dunia membuat hati terpecut ingin benar membuktikannya.
Sesungguhnya ada banyak sekali wilayah yang bisa dikunjungi untuk trekking atau bahkan bersepeda, namun kali ini saya memilih Desa Ugem karena merupakan salah satu destinasi favorit para pelancong. Jalur Ugem ialah jalur jalan kakisehari-hari penduduk kampung dengan banyak persimpangan ke arah bukit dan kebun sehingga lebih baik berkelana dengan pemandu yang dapat menjelaskan dengan baik jalur serta kebudayaan masyarakat setempat.
Sebelum sampai ke titik start jalur, kami harus menaiki angkutan umum (taksi) lebih dahulu dari Pasar Woma menuju titik terakhir yang bisa dilalui moda transportasi, Kali Yetni. Dengan membayar 11000 rupiah, kita akan mendapatkan sensasi yang unik di dalam taksi karena inilah satu-satunya angkutan umum yang digunakan masyarakat Kurima untuk mencapai kota atau berdagang di Wamena. Menjadi hal biasa untuk melihat sepeda, karung beras, noken (tas anyam khas Papua) berisi sayur mayur, babi hidup-hidup, dan bahkan anak-anak kecil yang mengkhawatirkan duduk bernyanyi-nyanyi di atas mobil.
Masyarakat yang Hangat dan Mesra
Pengap dan beraroma khasyang bagi sebagian orang dapat mengganggu, itulah impresi pertama kala duduk berhimpitan dalam taksi.Angkutan penuh dengan mama-mama yang membawa noken berisi sayur dan ubi juga ada pace (sebutan untuk kaum bapa) berkoteka dengan membawa parang. Kepulan asap rokok di dalam taksi mulai bikin saya sesak. Untung saya berada di dekat pintu sehingga selain bisa mengakses udara segar, saya dapat menyaksikan jelas pemandangan hijau yang rindang sampai akhirnya tidak terasa selama 20 menit kami sudah tiba di Kali Yetni.
Jembatan Yetni sudah lama putus sehingga kendaraan roda empat tidak bisa melewati kali dan tempat ini sekarang menjadi terminal dadakan. Kami harus turun dari taksi dan memulai perjalanan dengan berjalan kaki. Sebelum meniti jembatan darurat, berhentilah sejenak untuk merekam lansekap dari berbagai angle. Pasalnya, areal sisa longsoran yang menghampar luas di pinggir kali memiliki panorama apik di setiap sisi sudut Anda berdiri. Berhubung kemarin malam hujan deras maka pagi itu kami sudah disambut manis dengan lumpur tebal yang membuat kami harus nyeker dan berendam lumpur.
[caption id="attachment_192015" align="aligncenter" width="640" caption="Tanah Longsor bikin kami nyeker dalam lumpur"]
[/caption] Setibanya di seberang sungai, tanjakan pertama jalanan aspal menyambut dengan gagah. Selama 40 menit perjalanan kami menyusuri jalan aspal dipenuhi dengan perhentian untuk berpose, mengabadikan gambar, serta terus menyapa penduduk setempat. Dari kejauhan mata saya tertumbuk pada seorang tete (sebutan untuk nenek) yang mengangkut ubi dalam noken dengan kepala tertunduk hingga membungkuk. Di atas langkah kaki kecilnya yang pelan masih terlihat lengan yang kukuh di tubuh kurus tete. “Lauk,” saya tersenyum dan memberi salam dalam bahasa setempat kepada tete saat ia mendekat. Mendengar salam saya, tak disangka tete justru menghentikan langkahnya dan menjabati tangan saya lama dan erat sekali. Beliau memandangi saya dengan mata yang berbinar-binar dan senyum terkembang lebar. Sambil terus memegangi tangan tete yang kapalan karena sudah puluhan tahun bekerja keras, saya pun membalasnya, “Mama, Lauk, wa wa wa (terima kasih dalam bahasa lokal) permisi mama…” Kaum lelaki menggunakan kata “Nayak” saat memberi salam kaum lelaki.
[caption id="attachment_191998" align="aligncenter" width="640" caption="Tete dan kaum perempuan yang mengangkut ubi di noken dan kayu di kepala"]
[/caption]
Menurut cerita seorang teman yang sudah lama menetap di sana, masyarakat akan mengekspresikan kegembiraan saat bertemu dengan turis dan kerabat lewat salam dan berjabat tangan. Bahkan untuk mereka yang dianggap dekat, mereka tak sungkan berpelukan erat bak keluarga yang sudah lama berpisah. Sepanjang jalan itulah kesan yang saya temukan. Masyarakat yang mesra dan hangat.
Jangan Macam-macam dengan Babi
Kami terus berjalan hingga saya menghentikan langkah dikarenakan rasa takjub menyaksikan panorama luar biasa di Desa Obolma. Gunung tinggi berlapis kabut menjulang megah di depan saya, sementara di sisi kiri dan kanan jalan pohon kasuari dan cemara jarum seolah berbaris teratur menari lembut ditiup angin Kurima. Di tambah lagi bunga berwarna-warni cerah tumbuh rimbun baik di tepian jalan maupun di tiap halaman rumah penduduk memberikan pemandangan yang tak kalah indah dengan musim semi di pedesaan Eropa atau New Zealand di kalender (berhubung saya belum pernah ke sana).
[caption id="attachment_191999" align="aligncenter" width="453" caption="Pemandangan gunung dan cemara jarum di pinggir jalan Desa Obolma"]
[/caption]
Setelah melewati Obolma, terdapat pos penjagaan Kodim seperti checkpoint yang biasanya menanyakan dengan ramah tujuan turis yang lewat dan waktu kembalinya. Berjarak 500 meter dari pos, ada percabangan antara jalur ke Desa Seima dan Desa Wanem yang ditandai dengan warung kecil di sebelah kiri jalan. Untuk menuju Ugem, maka kami harus belok ke kiri menyusur turun dan menyeberangi jembatan Seima. Sedangkan ke kanan adalah untuk trip yang lebih panjang dan jalur yang jauh menantang dengan panorama Kota Wamena yang cantik. Kali ini, saya memilih belokan yang ke kiri hitung-hitung pemanasan mengenal Lembah Baliem.
Saat berada di atas jembatan Seima ada sedikit rasa takut saat melihat lebar dan derasnya Sungai Baliem dari atas jembatan yang bergoyang kencang. Akan tetapi ketakutan berubah menjadi rasa penasaran sesampainya di jalur setapak menuju bukit yang berlapis-lapis menutupi Ugem. “Wah, ini dia jalur yang sebenarnya,” ujar saya dalam hati.
[caption id="attachment_192001" align="aligncenter" width="576" caption="Sungai Baliem dari Jembatan Seima"]
[/caption]
Jalur tanah yang kami lewati adalah jalan di halaman honai (rumah tradisional) atau kebun penduduk. Dikarenakan mata pencaharian utama orang pegunungan adalah bercocok tanam, terlihat jelas keterampilan mereka lewat penataan kebun yang bahkan teratur rapi menjadi lansekap yang elok di lereng atau kaki bukit. Dalam jarak tertentu biasanya jalanan dipalang batu dan untuk melewatinya harus menaiki tangga pendek. Menurut keterangan seorang teman, palang tersebut dibuat untuk menghalangi babi piaraan mereka berkeliaran sampai ke kebun masyarakat. Bagi masyarakat pegunungan, babi adalah hewan piaraan yang digunakan sebagai alat tukar adat, seperti untuk mas kawin atau bayar denda. Harga seekor babi dewasa di Wamena bisa sampai 20 juta dan karena nilainya begitu berharga, maka muncul gurauan lebih baik macam-macam dengan manusia dari pada babi.
Anak-anak di Puncak Bukit
Di tengah perjalanan, tepatnya di titik mata air, kami bertemu sekelompok masyarakat yang diantaranya guru SD Ugem yang hendak berangkat ke kota. Kami berhenti sejenak untuk minum air dingin yang kesegarannya melebihi air mineral manapun serta berfoto bersama Pak Guru dan kawan-kawannya sebelum melanjutkan perjalanan. Sekitar satu kilometer berjalan mendaki di tanah gembur olahan babi yang mencari makan, kami bisa melihat lebih jelas gunung yang dari Obolma tertutup kabut dan jalur aspal yang tadi kami lewati. Setelah itu jalur pendakian kami semakin gersang dengan lansekap padang rumput terbuka.
Badan mulai letih dan sengatan matahari tepat di atas kepala sudah menyerap banyak energi kami. Maka sekitar pukul 12.30 kami mengeluarkan bekal makan siang, berupa bihun, nasi, telur dan puding cokelat. Mantap sekali bisa merasakan santap siang sambil memandangi alam semesta di bawah atap langit biru yang bersih tanpa asap kabut. Puding cokelat meski sulit di-packing telah berhasil menyegarkan dahaga dan mengurangi dehidrasi kami siang itu. Selesai mengisi “bahan bakar” kami pun melanjutkan pendakian menuju puncak bukit pertama.
[caption id="attachment_192002" align="aligncenter" width="300" caption="Bahan bakar menuju Ugem"]
[/caption]
Hujan disertai angin turun setibanya di puncak bukit, maka jas hujan plastik yang saya bawa siap difungsikan. Di atas puncak tidak ada pohon rindang untuk berteduh, namun dinginnya tetes hujan bercampur angin tidak mengurangi antusiasme saya bersenda-gurau dengan beberapa anak SD yang kami temui di puncak. Seorang anak justru berhasil menggoda saya bergabung dalam keriuhan yang ia buat saat bergoyang dan bernyanyi dalam bahasa daerah. Ingin masuk ke dalam keriangannya, saya pun mengambil rumput dan turut bergoyang di sebelah si adik sambil berusaha mengikuti lagu dengan menambahkan kata “Oaaeee” di setiap ujung syair lagu. Sungai Baliem yang berkelok-kelok dari arah Kali Yetni menjadi pemandangan latar dari panggung kami bernyanyi saat itu. Dari arah timur berdiri kokoh bukit-bukit dan gunung-gunung yang diselimuti awan tipis yang semakin dramatis oleh suasana sendu langit kelabu usai menangis di bumi Papua.
Waktu terus berjalan, udara semakin menusuk dingin dan sudah seharusnya kami beranjak. Apalagi menurut adik-adik Desa Ugem terletak di balik puncak bukit kedua sehingga kami belum menempuh 50% perjalanan. Gawat, sempat ciut mendengarnya namun demi kebulatan tekad mencapai Ugem dan melihat hotel honai yang tersohor, maka saya dan dua orang teman tetap melanjutkan perjalanan, sedangkan dua teman lagi beristirahat menunggu di puncak pertama.
[caption id="attachment_192016" align="aligncenter" width="640" caption="Berpose usai bernyanyi dan berjoget"]
[/caption]
Perjalanan menuju puncak kedua melewati sebuah kampung dimana anak-anak sedang bermain voli di lapangan sebelah sebuah gereja mungil yang apik. Ada fakta menarik mengenai anak-anak jika melihat turis dari kejauhan yaitu umumnya mereka akan berteriak “Good morning Sir.” Seperti kali ini, mereka baru menyapa saya dalam bahasa Inggris saat saya mendekat dan berbicara dalam logat setempat. Maklum, di mata mereka turis itu adalah orang Barat karena jarang ada wisatawan dalam negeri yang rela jauh-jauh datang dan berkunjung ke desa-desa pinggir kota. Kami lalu menanyakan arah ke Ugem, namun anak-anak tersebut malah meninggalkan bolanya dan dengan riang mengantarkan kami menuju desa tujuan. Ramai sekali rombongan kami. Ada sekitar enam anak yang mendampingi dan bahkan menggandeng tangan saya sepanjang perjalanan.
[caption id="attachment_192012" align="aligncenter" width="640" caption="Jalur yang masih harus dilalui. Ugem di balik puncak bukit kedua"]
[/caption] Desa Ugem Surga Papua
Di tengah perjalanan saya hampir menyerah dikarenakan track ke Ugem ternyata memang bukan untuk kelas pemula. Setelah mencapai puncak kedua, kami lemas karena langkah semakin berat dan kampung belum juga terlihat. “Adik, ini masih jauh ka? Kakak su capai sekali,” tanya saya terengah-engah bahkan seluruh muka dan badan sudah banjir dengan peluh. “Ah, kakak itu su dekat lagi. Tinggal turun lagi, naik, baru belok sedikit su sampai,” jawab seorang anak yang mengantar kami. Tentu saya curiga mendengarkan keterangan mereka, terang saja standar jauh orang lokal dengan pendatang kan jauh berbeda. Biar begitu, semangat untuk mencapai target perjalanan ini membuat kami bertiga tetap optimis dan lanjut.
Ditengah-tengah pendakian, tak terasa seorang anak berteriak menunjuk bangunan putih. “Itu Ugem kakak.” Saya yang masih dalam posisi mendaki melihat sembulan atap bangunan gereja bercat putih dan semakin dekat tampakah sekolah dan honai penduduk di halaman rumput hijau dan luas. Wow, akhirnya touch down Ugem! Ugem ternyata sebuah desa kecil dengan lansekap hijau yang memberi keteduhan, mentransfer energi damai, dan sungguh merelaksasi. Segala rasa capai saya hilang dan ingin rasanya segera berguling-guling di atas rerumputan sambil memandangi lembah yang dalam, mandi di bawah air terjun yang menggoda di kejauhan, dan mengeksplorasi hutan rimbun gunung di seberang.
[caption id="attachment_192007" align="aligncenter" width="640" caption="Surga Kecil di Desa Ugem "]
[/caption]
Dalam keadaan masih ternganga oleh maha karya Tuhan, anak-anak Ugem sudah berlari-lari mengerubungi kami sambil koor “Gula-gula kaaa... Gula-gula.” Kata-kata yang selalu anak-anak ucapkan saat meminta permen. Saya kemudian meminta maaf karena tidak membawa gula-gula dan dalam hati berjanji menyiapkan stok permen yang banyak untuk anak-anak setempat. Pasalnya, sebuah permen saja ternyata bisa membuat anak-anak ini sumringah bukan main.
Sayang sekali kami tidak bisa beristirahat lama di Ugem karena waktu sudah menunjukkan pukul 15.00. Kamu harus mengejar taksi terakhir di Kali Yetni sebelum jam 6. Karena itu, momen yang ada kami manfaatkan dengan menyapa mama-mama yang sedang berjualan, bercanda tawa dengan anak-anak, berfoto bersama masyarakat dan merekam gambar lansekap yang setiap kali saya melihatnya kembali ada rasa rindu dan damai.
[caption id="attachment_192009" align="aligncenter" width="640" caption="Anak-anak di Desa Ugem"]
[/caption]
Kami juga berharap bisa kembali dan menginap di hotel honai yang ada di Ugem. Hotel ini biasa dipakai turis bule dalam perjalanannya ke Yahukimo atau sekedar untuk menghabiskan waktu di Ugem. Dengan biaya per malam Rp. 50.000, pengunjung bisa tidur langsung di dalam honai yang beralaskan rumput ilalang kering atau memasang tenda. Unik dan patut dicoba.
[caption id="attachment_192011" align="aligncenter" width="640" caption="Hotel Honai di Ugem. "]
[/caption]
Peluh dan perjuangan mencapai desa di balik dua bukit dan satu tanjakan maut selama tujuh jam di hari itu semuanya terbayar sudah dengan tujuan awal saya yang ingin mengenal alam dan masyarakat Papua lebih dekat. Saya melihat senyum yang terkembang dan mata yang berbinar saat kaum mama dan bapa menyalami kami. Saya mendengar gelak tawa yang membahana dari atas bukit saat anak-anak bernyanyi dan berjoget dengan kami. Juga ada tangan kecil seorang anak yang meraih jemari saya dan menggenggamnya erat mengantarkan saya melihat keindahan alam bak surga di balik awan. Perjalanan yang sungguh bermakna di Wamena menuju Kurima dan tidak ada yang perlu ditakuti.