[caption id="attachment_343103" align="aligncenter" width="279" caption="Walikota Depok Terkasih Nur Mahmudi Ismail (source: www.voa-islam.com)"][/caption]
Mengeluh dengan cara misuh-misuh di media sosial itu biasa, tapi rasanya keluhan saya sudah di ujung ubun-ubun dan penting untuk mengeluh langsung ke Bapak Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail yang terhormat.
Gak tahu gimana caranya, saya tulis aja di sini berharap bisa dibaca.
Jadi, hari ini saya baca berita seorang siswi SMA yang tidak digubris saat mention NMI via twitter mempertanyakan pungutan di sekolah negeri yang rutin dan berjumlah sangat lumayan.
Dimana 4 hari sebelumnya saya membaca respon Pak Walkot terkait macet yang cukup bikin geleng-geleng.
Tetiba ada dorongan yg sangat masif untuk mengadu langsung ke Bapak Nur Mahmudi Ismail karena saya juga mau mengeluh. Boleh ya Pak?
Kenapa ya Pak...selama 25 tahun saya hidup di Depok fakta bahwa...
1. Terminal Depok yang pesing, sumuk, banyak copet, dan bottle neck di pintu keluar nggak bisa diselesaikan? Bapak udah menjalankan one day no car, ada fotonya lagi beradegan bayar angkot. Angkotnya masuk kan Pak ke terminal? Gimana-gimana rasanya? Enjoy aja? Semerbak mewangi? Kira-kira aman di malam hari nggak? Saya pengguna terminal selama 22 tahun Pak dan selalu berbeban berat saat di dalam terminal.
2. Lalu macet di Depok pas wiken parah-separah-parahnya. Bapak pasti tahu juga kan ini adalah implikasi dari makin menjamurnya mal, apartemen, hotel, rumah makan, dan tempat hiburan lainnya di sepanjang Margonda. Lalu diberitakan menurut Bapak solusinya: Hindari tempat-tempat macet tersebut. Kalau sudah terlanjur macet ya nikmati aja. Seriously Pak? Bukankah yang kasih ijin pembangunan bangunan-bangunan itu Pemda? Lalu yang menikmati pajak daerah dan hiburan siapa? Saya bayar pajak 35% untuk karaoke di mal di Depok (DKI aja masih 20% loh) untuk bisa karokean ngantriii jarang-jarang kosong, kebayang kan berapa ratus ribu orang yang bayar pajak hiburan, belum yang mengunjungi tempat makan, hotel, panti pijat, dan hiburan lain setiap minggunya?
Kalau solusi yang Bapak usulkan kami jalankan, imbasnya bumerang ke Pemda juga ngga? Terus kembali ke pajak, kalau prinsip pajak harus dikembalikan dalam bentuk benefit ke masyarakat, seharusnya kami berhak mendapatkan fasilitas umum dan sosial yang lebih baik, seperti jalan yang nggak macet, terminal yang nyaman, Puskesmas dan RS yang lebih baik, dan buat adik yang ngeluh tadi, ya sekolah yang bebas pungutan. Teman-teman saya yang punya anak ogah masukin anaknya ke sekolah-sekolah negeri di Depok katanya ga terjamin mutunya. Sedih gak tuh Pak, makin banyak anak di Depok yang cas cis cus bahasa londo soalnya milih sekolah internasional minimal nasional plus-lah.
3. Terus kira-kira kenapa ya Pak ini orang-orang Depok pada doyan ngemol, tajir banget apa ya kita-kita? Nggak juga Pak, soalnya kita nggak punya area rekreasi dan hiburan gratis. Ada taman kota? Kagak ade. Ada museum? Kagak ade. Ada sarana edutainment? Kagak ade, Ada penghijauan supaya mata bisa seger-seger? Ade. Itu proyek penghijauan di sepanjang jalan Margonda yang dijadikan pembatas jalur dan pohonnya kering kerontang cebol-cebol bikin sakit mata. Saya rasa itu pohon lebih banyak ngerebut O2 kita Pak. Mending ditebang sekalian ajalah, ganti pohon beneran. Situ Lio-nya Depok aturannya bisa dibikin bagus, jalan tembus Ps Mini-SMP 4 juga, tapi kalau fokusnya ciptakan sebanyak-banyaknya tempat masyarakat menghabiskan uang, ya piye? UI juga jadinya sumuk tiap wiken karena manusianya terlalu banyak. Kami haus ruang hijauuu Pak!
4. Dan saya penasaran Pak, dua periode kepemimpinan Bapak di Depok menurut saya majuuuu pesat dalam hal "pembangunan" tapiii yang dibangun oleh pengusaha-pengusaha mol, pasar swalayan, apartemen dan hotel tadi. Saya ngebayangin kalau itu semua blas dihilangin, asetnya Depok itu apa ya? Bertahun-tahun pembangunan yang paling signifikan saya lihat (ambil contoh di Margonda) hanya jembatan penyeberangan! Ada jembatan yang nggak selesai-selesailah pembangunannya, yang diubah modellah, yang ujung-ujungnya jarang dipake karena 50 meter dari jembatan ada zebra cross! Mungkin saya kurang informasi, jadi saya baca dan telusurivwebsite Pemkot Depok dan saya cek Program Pendidikan: kok isinya daftar sekolah di Depok dan rekap siswa. Programnya dimana ya? mungkin nyempil di tab lain ya?
Saya coba buka lagi tab kesehatan, tertulis judul program katarak gratis tanpa keterangan lanjutan (apa mungkin websitenya perlu diperbaik neh?). Lihat di Agenda Pemda, kegiatan tahun ini hanya 2 biji. Marahin admin webnya Pak kalau infonya menyesatkan, karena kan ini mencoreng nama baik Pemkot Depok ntar dikira magabut nggak bikin apa-apa.
Padahal, kalau lagi bulan-bulannya proyek apalagi akhir tahun (pas musim hujan) saya lihat biasanya banyak para kontraktor yang sibuk jalanin proyek pemda, seperti ratain jalan di dekat komplek rumah saya, ratain jalan di sono-sini yang panjang perbaikannya nggak nyampe 1km, bikin polisi tidur, bikin arena bermain sekedarnya yang berakhir spooky dan ga terurus karena lokasinya gak strategis buat anak-anak. Tapi kalau ada hal signifikan lainnya, ya mohon saya dicerahkanlah.
Meski Bapak (atau stafnya) terakhir FB-an bulan Juli dan mungkin status saya nggak akan dibaca, pun kalau dibaca harus bikin apaa kan setahun lagi sudah lengser, ya rapopo ini saya simpen buat dikasih ke Walkot selanjutnya. Ini hanya segelintir uneg-uneg yang kalau disimpen terus bisa jadi kanker lambung karena setiap stres maag saya kambuh Pak! Kesiyan dong, Pak.
Oya keluhan ini saya lebih dulu post di wall fb saya dengan mentag FB Bapak, di komen ada beberapa teman yang juga merasakan keputusasaan dan kekesalan yang sama. Jadi kalau digosok dikit sebenarnya banyak yang sudah mulai stres tinggal di Depok. Apa solusinya pindah saja dari Depok atau nikmati saja? Ya, kalau diajak Bapak ngobrol soal Depok dan kesukaran-kesukarannya sehingga saya mendapat pencerahan mungkin saya akan senang. Siapa tahu 15 tahun lagi saya jadi calon walkotnye. Hahaha... ya, keleesss, ya Pak!
Tabik.
Kitnas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H