Generasi instan = Gen Z atau sering disebut generasi penikmat di era kekinian memang tidak ada habisnya diperbincangkan. Karl Mannheim "The Problem of Generations", 1923, menyebutkan "Generasi adalah kelompok yang terdiri dari individu yang memiliki kesamaandalam rentang usia, dan mengalami peristiwa sejarah penting dalam suatu periode waktu yang sama".
Berdasarkan teori tersebut Karl Mannheim membuat timeline generasi dalam 5 bagian yakni, generasi babyboomer; lahir 1946-1964, generasi X; lahir 1965-1980, generasi Y; lahir 1981-1994, generasi Z; lahir 1995-2010 serta generasi Alpha; lahir 2011-2015. Generasi Z memang berbeda dengan generasi milenial. Distingsi keduanya terlihat pada generasi Z yang dimanjakan dengan beragam teknologi sejak lahir, sehinga tak heran jika generasi Z (disebut i-Generation, Generasi Net, atau generasi Internet) yang terlahir dari generasi X dan Y.
Akrab dan cakap dalam memanfaatkan teknologi merupakan ciri utama generasi Z. Internet hadir di Indonesia pada 1990, kemudian diikuti indonethadir sebagai penyelenggara jasa internet komersial perdana di negeri ini untuk mempermudah manusia. Hanya saja, mesin pencari, media sosial dan beragam aplikasi lain secara tidak langsung melatih manusia menjadi makhluk yang manja, membentuk pribadi yang kurang sabar, sulit menghargai proses serta condong menyukai hal yang bersifat serbainstan.
Salah satu contohnya, generasi ini kurang menghargai proses. Ada kalanya, mereka lebih fokus pada hasil yang diharapkan dan mengabaikan cara yang dilakukan. Segala sesuatu ingin diselesaikan dalam satu waktu dalam waktu yang singkat dan cepat, sehingga beberapa dari mereka menjadi pribadi multitasking. Sisi positifnya, mereka bisa melakukan sesuatu secara efektif dan efesien namun oriented pada proses sangat minim.
Statiska generasi Z menunjukkan generasi Z menghabiskan waktu sekitar 7,5 jam perhari berinteraksi dengan gawai digital (hampir 11 jam untuk menikmati konten dan berinteraksi dengan gawai digital), 22% remaja generasi Z masuk ke akun media sosial lebih dari 10 kali setiap hari (data tahun 2009), sekitar 75% remaja generasi Z memiliki ponsel sendiri, 25% digunakan untuk media sosial, 54% untuk texting, dan 24% untuk instant messaging, lebih suka texting atau instant messaging daripada bertelepon, lebih sering "multitasking" (fast-switching), lebih dari setengah remaja generasi Z dalam jam-jam terakhir sebelum tidur berkirim pesan (texting) kepada teman-temannya dan sepertiga generasi Z pemilik smartphone langsung online sesaat setelah bangun tidur.
Sesuatu yang instan teradopsi dalam diri mereka. Generasi Z enggan menunggu terlalu lama atau menunggu kepastian menghampiri. Sebagai catatan, sesuatu yang di dapat secara instan maka lebih cepat hilangnya. Hal ini lah yang belum dipahami generasi Z (anak masa kini). Masalahnya bukan menjudge mereka sebagai generasi instan, namun ketika realita menunjukkan hal demikian maka kita butuh pencegahan serta penanggulangan. Dialah "kids zaman now", istilah yang sudah menasional bahkan mendunia.
Sayup -- sayuppun terdengar dari para praktisi pendidikan yang menggunakan istilah tersebut. Lahir dan besar di era teknologi mau tidak mau membuat generasi Z akrab dengan teknologi dibanding generasi sebelumnya. Berhadapan dengan teknologi tidak lagi menjadi suatu hal yang dikagumi dan dianggap hal yang lumrah sehingga ketergantungan tak lagi menjadi hal yang aneh.
Dengan beragam fasilitas yang serba modren, lengkap, dan cepat, maka tak bisa dipungkiri jika anak-anak zaman sekarang tumbuh dengan prinsip, " kalau bisa dibuat mudah, kenapa dipersulit?" pernyataan inilah yang harus disadari benar oleh orang tua ataupun guru. Bukan berarti hidup harus dipersulit jika memang ada yang lebih mudah. Namun, siswa perlu diberi pemahaman dan pendidikan untuk bisa menikmati setiap proses apapun untuk lebih menhargai proses.
Upaya yang dapat dilakukan ialah mendampingi siswa saat menggunakan teknologi. Orang tua dan guru harus bijak dalam memanfaatkan teknologi. Dengan demikian, mereka bisa menjadikan teknologi sebagai alat untuk mempermudah kehidupan, tanpa harus menjadi "budak" teknologi. Selain itu, generasi muda seharusnya cakap dan selektif menggunakan teknologi secara efektif dan efesien, sehingga hadirnya teknologi tidak akan menghilangkan kreativitas serta inovatif kita untuk andil berkontribusi pada perkembangan yang ada.
Pembelajaran teknologi penting dilakukan. Tidak hanya oleh guru, namun orang tua juga mempunyai kewajiban untuk mahir memanfaatkan teknologi dalam upaya menunjang pendidikan. Karena jika pendidik tidak memanfaatkan teknologi maka akan dianggap ketinggalan zaman. Dan bisa jadi, pembelajaran tak lagi sesuai dengan situasi dan keadaan masa kini.
Seringkali didapati kebosanan penggunaan teori dalam metode pembelajaran, hal ini menuntut pendidik untuk mengembangkan kreativitas penggunaan metode variatif, misalnya pembelajaran melalui permainan dan jika permainan sudah cukup maka praktik lapangan menjadi pilihan kegiatan berikutnya. Belajar bisa dilakukan langsung di masyarakat ataupun lewat media alam sekitar. Bagi siswa yang sudah terbiasa dengan teknologi, maka kegiatan luar ruangan atau di alam bisa menjadi hal yang baru sekaligus menyenangkan.