Meskipun telah dijamin konstitusi, kebebasan berpendapat kerap kali menyeret warga negara ke dalam jeruji penjara. Diperlukan adanya cara cerdas dan aman agar dalam bersuara tak berujung aksi pidana.
Dalam alam semesta demokrasi, semua manusia yang berpijak di bawah lapisan atmosfernya, secara otomatis berperan sebagai sosok kritikus tanpa terkecuali.
Berbeda halnya jika kita hidup di bawah langit tirani dan monarki, di mana suara kita akan dideteksi seolah ancaman bagi penguasa. Mereka akan selalu berusaha untuk membungkam mulut-mulut yang dinilai berpotensi mengusik kekuasaan.
Sebagai makhluk demokratis, agaknya kita semua senada dengan Adam Kirsch. Dalam jurnalnya yang berjudul "How to Live With Critics", Kirsch memaparkan bahwa kritikus hanyalah pembaca yang membuat pertanyaan, lantas mencoba menjawabnya di hadapan umum, demi kepentingan pembaca lainnya.
Kirsch ingin menyampaikan bahwa kita berhak memberikan penilaian terhadap sesuatu. Setiap orang diberikan otoritas yang kritis, taruhlah untuk mengatakan: "saya suka atau saya tidak suka".
Meski demikian, setiap kritik hendaknya disampaikan dengan cara yang beradab, bukan dimaksudkan untuk menghakimi pribadi seseorang, apalagi sampai harus menyerang aspek kemanusiaannya.
Sangat sulit dimungkiri, akan selalu ada saja orang yang berpikiran bahwa kritik ialah wujud ekspresi kebencian. Padahal, kritik muncul sebagai bahan evaluasi. Ia terlahir sebagai reaksi alamiah manusia dalam menyikapi suatu hal.
Kritik dapat dilayangkan kepada siapa saja. Orang boleh mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan asas kemaslahatan bersama.
Tatkala Presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk lebih aktif lagi dalam memberikan kritik terhadap kerja-kerja pemerintah, saya merasa senang, tetapi juga merasa cukup khawatir.
Rasa senang tersebut dilandaskan pada adanya niat mulia dari sosok pimpinan negara yang berkata kepada rakyatnya bahwa kritik merupakan hal yang baik dan diperlukan dalam menyikapi suatu kebijakan dan kinerja pemerintah.