Lihat ke Halaman Asli

David Abdullah

TERVERIFIKASI

Hindari Konten Toksik, Begini Cara Detoksifikasi Linimasa Twitter

Diperbarui: 27 Januari 2021   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi detoksifikasi Twitter. | Yourstory.com

Pernah terganggu konten toksik? Adopsi trik berikut agar linimasa terbebas dari konten sampah dan kejomloan kamu lebih berfaedah.

Menilik catatan Oberlo, Twitter memiliki pengguna aktif harian mencapai 145 juta pada 2019 lalu. Terdapat sekitar 500 juta cuitan setiap hari atau 5787 cuitan setiap detik yang bersirkulasi di linimasa.

Layaknya partikel debu di luar angkasa, beberapa kicauan itu akan mengorbit di atmosfer linimasa kita setiap hari. Oleh sebab itu, konten di Twitter bisa sangat melimpah, begitu pula konten sampah.

Meski hanya mengikuti akun-akun dan topik yang kita kehendaki, sayangnya, algoritme baru Twitter memungkinkan cuitan-cuitan sampah dari akun sebelah (mutual) untuk terlihat di linimasa kita.

Sistem algoritme linimasa pada Twitter yang mulai digunakan pada 2018, kerap memancing keluhan pengguna. Format baru tersebut membuat pengguna bisa melihat cuitan dari akun yang kita ikuti, termasuk dari akun yang mereka ikuti.

Apalagi, format "show top tweets first" yang justru lebih banyak memuat konten gorengan selebtwit, twitwar tak penting, hingga komentar yang penuh kebencian dari buzzer pro dan kontra pemerintah.

Tagar-tagar pembebalan pun mewarnai linimasa akibat algoritme baru tersebut. Sejatinya, kita tak pernah menginginkan konten itu berkeliaran di linimasa.

Perubahan itu membuat manusia waras di manapun akan kesulitan menikmati kegiatan bermedsos-ria. Hal yang sama juga bisa membuat manusia tidak waras semakin tenggelam ke dalam kebebalan yang tidak berujung.

Meski membantu kita dalam mengikuti tren dan informasi terkini secara instan, fitur trending topic juga acapkali dipakai sebagai katalis untuk mengkampayekan hoaks dan konten beracun lain.

Alih-alih mendapatkan asupan konten yang bergizi, kita justru dipaksa untuk menelan kicauan toksik yang sarat akan pembodohan. Di mana konten itu dapat membentuk senyawa radikal bebas yang tertimbun di otak dalam jangka panjang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline