Politik adalah perang dalam bentuk yang lebih ramah, namun tetap sama-sama mematikannya. Jika dalam perang yang menang menjadi arang dan yang kalah menjadi abu, dalam dunia politik belum tentu, karena politik ialah seni segala kemungkinan (the art of possibillities).
Melalui lobi-lobi dan beragam upaya transaksional, semua yang awalnya mustahil dengan sekejap menjadi mungkin dan dimungkinkan. Seperti itulah politik bekerja. Tidak ada lawan yang abadi, karena yang abadi adalah kepentingan politik itu sendiri.
Dalam magnum opus-nya, The Art of War, Sun Tzu memiliki prinsip bahwa menangkap musuh itu lebih utama daripada menghancurkannya secara keseluruhan.
"Keep your friends close and your enemies closer" – Sun Tzu
Mungkin saja Jokowi selama ini telah menjalankan seni perang ala Sun Tzu dengan merangkul lawan politiknya, alih-alih melancarkan serangan.
Jokowi sadar betul bahwa strategi merangkulnya itu sangat efektif untuk meminimalisir tensi para rival politiknya guna melakukan perlawanan. Setidaknya untuk sedikit mengurangi intensitas kebisingan di media massa dan sosial.
Bara api kontestasi dalam Pilpres 2014 dan 2019 seakan padam begitu saja semenjak kubu opisisi berangkulan mesra dengan rezim penguasa.
Masih hangat dalam benak, bagaimana Prabowo "meledak-ledak" sembari menggebrak-gebrak meja podium saat menyinggung antek asing di hadapan para pendukungnya pada 2019 lalu.
Luapan emosional yang sama juga diperlihatkan Prabowo di depan musuh bebuyutannya itu pada ronde ke-4 debat Pilpres 2019 ketika membahas tentang isu pertahanan.
Namun, setelah jabatan menteri ia sandang, ledakan itu tidak lagi terlihat. Kritik-kritik pedas yang kerap ia lontarkan sebelum menjadi mancan ompong pun tak lagi terdengar.
Sebelum itu, kompatriotnya di Pilpres 2014, Aburizal Bakrie, Hary Tanoe, dan Ali Mochtar Ngabalin sudah lebih dulu merapat ke kubu Jokowi. Ketiga nama itu juga tidak kalah vokalnya dalam melontarkan kritikan-kritikan tajam sebelum bergabung ke dalam tampuk kekuasaan.