Lihat ke Halaman Asli

rimalikaputri

NEPHOPHILIA

Makanan Jalanan Vs Makanan Caferesto

Diperbarui: 26 Februari 2019   12:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuliner. Sumber ilustrasi: SHUTTERSTOCK via KOMPAS.com/Rembolle

Menjamurnya tempat nongkrong ala anak muda kekinian sudah banyak menghiasi ruas-ruas jalan di negeri ini. Caferesto semacam ini memang menawarkan tempat yang nyaman untuk ngobrol sana sini sambil makan/minum. Barangkali memang beginilah potret budaya kekinian orang yang hidup di jaman sekarang. Mau ga mau, sadar ga sadar kita pun melakukannya.

Lalu bagaimana dengan makanan jalanan? seperti mie ayam, bakso, siomay, nasi goreng dll? 

Jangan salah, makanan jalanan tersebut tetap eksis. Makanan yang membumi nusantara ini masih sangat layak untuk diminati semua warga negara indonesia tanpa memandang umur, gender, status kejombloan dan jabatan. Caferesto yang menawarkan konsep gaya hidup perkotaan dengan nuansa industrial, vintage atau bahkan rustic pun menggunakan menu yang tak jauh berbeda dengan makanan jalanan. Di banyak tempat sering pula kita temukan menu angkringan yang menjadi andalannya. 

Mau jalanan atau caferesto?

Tergantung sikon dan suasana hati aja. Kadang nongkrong di pinggir jalan juga asik. Mampir ke caferesto pun sah-sah aja.

Makanan jalanan itu abadi walau di sepanjang jalan ada banyak caferesto, masih banyak pelanggan yang setia dengan makanan jalanan kesukaannya. 

Begitu halnya dengan caferesto. Sering yang menjadi alasan kita untuk mendatangi caferesto tertentu adalah suasana yang ditawarkan. Yaah meskipun ada segudang lebih alasan lain untuk nongkrong disini. Konsep interior yang pas dan wifi yang sekencang cheetah larinya juga bisa jadi poin plus tersendiri bagi mereka insan digital. 

Salutnya, pedagang makanan jalanan dan pedagang makanan caferesto akur damai berdampingan. Ga perlu menyabotase pelanggan, merusak properti atau bahkan menakut-nakuti pelanggan dengan melakukan tindak anarki. Dari mereka inilah kita belajar untuk yakin bahwa setiap orang memiliki garis rejekinya masing-masing  sehingga yang mampu kita lakukan adalah terus fokus berusaha memperbaiki layanan dan memaksimalkan apa yang menjadi kelebihan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline