Lihat ke Halaman Asli

Rumah Kaca

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Beningnya meminta mataku tuk selalu menatap kesana. Gemerlap cahayanya menarik keterpurukan hatiku tuk selalu menanti langkahnya. Dan kehausanku memaksa genangan cinta teronggok di depan pintunya. Kau bagai berdiri anggun di dalam rumah kaca yang tak dapat kusentuh. Aku menatap dari luar dirimu berharap rindu terkirim. Dan pintumu tak dapat kubuka walau dengan sekuat cinta dan rinduku.

----------

Asther berdiri terpana bagai terserap alunan sihir. Ya, sihir cinta yang kian hari kian membara. Tubuhnya terasa kaku dan dingin. Jantungnya berdebar kencang, bagai debur ombak di laut lepas membahana tak ingin sejenak bersandar. Hatinya bergolak antara berlari mengejar cinta dan tikaman ketakutan. Diliriknya sekali lagi lelaki yang berdiri di sebelahnya. Nadinya bagai tersumbat hentakan keinginan ketika dilihatnya lelaki itu juga meliriknya. Panas menghunjam gelora asmara seketika.

"Kenapa liat-liat?" Jimmo menatap tajam.

"Ha? Oh, enggak, nggak apa-apa kok." Asther salah tingkah dan berdebar-debar, lalu menarik tangan Luvia menyingkir dari antrian. Jimmo meliriknya sekilas dan kembali menekuni antrian.

"Loh, nggak jadi nonton?" Luvia heran.

"Nggak ah, antriannya terlalu panjang, paling nggak kebagian tiket."

"Ada Jimmo ya?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline