Pengantar
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) memiliki peran strategis dalam mendukung pembangunan daerah melalui kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pelayanan publik. Namun, tantangan dalam tata kelola dan pengawasan yang lemah telah menyebabkan sejumlah BUMD menghadapi kondisi "sakit" secara finansial dan operasional. Situasi ini tidak hanya menghambat kinerja BUMD sebagai penggerak ekonomi daerah, tetapi juga menambah beban anggaran pemerintah daerah. Menurut data Tansparancy Internasional -- Indonesia tahun 2021, terdapat ratusan BUMD yang mengalami kerugian setiap tahunnya, bahkan sebagian berada dalam kondisi ekuitas negatif. Hal ini tidak hanya mencerminkan kinerja keuangan yang buruk, tetapi juga menunjukkan adanya inefisiensi, pemborosan anggaran, dan potensi penyimpangan dalam pengelolaannya. Kondisi seperti ini ibarat "kuda mati" yang terus-menerus dipertahankan, meskipun tidak lagi mampu memberikan manfaat nyata.
Dari total 959 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Indonesia dengan aset sebesar Rp. 854,9 triliun, tercatat 291 BUMD dalam kondisi sakit, yaitu mengalami kerugian dan memiliki ekuitas negatif. Situasi ini diperburuk dengan 274 BUMD lainnya yang merugi serta 17 BUMD yang memiliki kekayaan perusahaan lebih kecil dari kewajibannya. Ketidakseimbangan struktural juga menjadi tantangan, di antaranya 186 BUMD yang memiliki Dewan Pengawas atau Komisaris lebih banyak daripada Direksi, serta 239 BUMD yang belum memiliki Satuan Pengawas Internal (SPI).
Masalah integritas pengelolaan BUMD turut menjadi perhatian. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2004 hingga Maret 2021, sebanyak 8,12% dari total tersangka korupsi yang ditangani merupakan jajaran pengelola BUMD. Kendati tidak semua kerugian disebabkan oleh tindak pidana korupsi, data ini mengindikasikan adanya potensi salah kelola yang serius.
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Jawa Timur, seperti halnya banyak BUMD di Indonesia, menghadapi tantangan mendasar dalam tata kelola yang menghambat kinerja optimal. Rendahnya kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi bukti nyata, meskipun BUMD di Jawa Timur dibangun untuk mendorong perekonomian lokal dan menyediakan layanan publik. Sebaliknya, beberapa BUMD milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur justru menjadi beban keuangan daerah akibat kerugian yang terus terjadi dan pengelolaan yang tidak profesional.
Ketika BUMD yang tidak sehat terus dipertahankan dengan suntikan dana dari anggaran daerah tanpa reformasi berarti, kerugian negara semakin membesar. Anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk program strategis justru terjebak dalam upaya mempertahankan entitas bisnis yang tidak produktif. Akibatnya, BUMD yang tidak sehat tidak hanya gagal mencapai tujuan pembentukannya, tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola pemerintahan daerah.
Seperti metafora "kuda mati," maka mempertahankan BUMD yang sudah terbukti tidak efisien tanpa langkah reformasi hanya memperburuk keadaan. Sebaliknya, solusi tegas seperti restrukturisasi, konsolidasi, atau bahkan penutupan BUMD yang tidak sehat diperlukan untuk menghentikan kerugian dan mengarahkan fokus pada pengelolaan yang benar-benar memberikan kontribusi signifikan bagi PAD.
Telaah Manajemen BUMD dalam Tata Kelola "Kuda Mati"
BUMD dapat diibaratkan seperti "kuda mati" yang terus diberi makan dengan harapan akan kembali hidup. Alih-alih melakukan restrukturisasi atau menutup BUMD yang tidak produktif, pemerintah daerah justru terus mengalokasikan anggaran besar untuk operasional yang terbukti tidak efisien. Langkah ini hanya menghabiskan sumber daya tanpa menyelesaikan akar masalah, sehingga perbaikan nyata sulit dicapai.
2. Pemborosan Dana