Lihat ke Halaman Asli

"Pelakor" Mengapa Bias terhadap Perempuan?

Diperbarui: 10 April 2021   09:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagian orang mengerti bahwa istilah "Pelakor" tidak pantas dijadikan label untuk perempuan yang berselingkuh.

Oleh : Kiswah Fadhilah

Kehadiran media sosial saat ini yang disebut sebagai media alternatif untuk membangun hubungan dan penyebaran informasi, tidak sedikit orang yang merespons secara cepat terhadap informasi yang sedang beredar saat itu. 

Apalagi jika orang tersebut adalah pengguna aktif dari media sosial. Dalam beberapa penelitian sebelumya disebutkan bahwa media sosial telah berhasil membentuk persepsi penggunanya terhadap sebuah informasi yang diterimanya. 

Penggunaan media sosial yang begitu aktif, dapat membentuk persepsi penggunanya dalam memandang sebuah fenomena tertentu, salah satunya fenomena “Pelakor”, istilah tersebut saat ini menjadi semakin akrab dikenal oleh warganet. 

Kata “Pelakor” yang merupakan akronim dari perebut laki orang, menjadi salah satu fenomena yang menarik akhir – akhir ini di media sosial khususnya dalam kasus perselingkuhan. 

Kalau dilihat dari faktor budaya massa, seseorang cenderung akan cepat memberi komentar atau menyebarkan informasi dan juga mudah meniru tindakan yang ramai dilakukan oleh orang lain . 

Saat istilah pelakor banyak digunakan dan dipopulerkan, orang lain pun ikut menyebarkan, berkomentar bahkan menggunakannya di kehidupan nyata.

Dalam kasus perselingkuhan, rupanya masyarakat Indonesia masih menerapkan perlakuan bias gender. Saat perselingkuhan terjadi, media dan masyarakat cenderung melihat perselingkuhan sebagai persoalan pihak dua perempuan yang melakukan kesalahan, baik itu perempuan yang berperan sebagai korban atau bisa dibilang istri yang dikhianati dan seringkali dianggap "gagal" dalam mengurus suami atau kepada perempuan lain, yang sering dianggap merebut suami dari istri tersebut. 

Penggunaan istilah “pelakor” mengasumsikan si perempuan sebagai pihak yang paling bersalah dan membuang peran si pria. Istilah ini digunakan untuk menyalahkan dan menyudutkan perempuan dan sama sekali tidak menyalahkan pria yang melakukan perselingkuhan tersebut. 

Beberapa kasus perselingkuhan yang sering kita temui di media sosial, cenderung menyalahkan pihak perempuan yang menjadi orang ketiga itu. Mereka dihujat habis - habisan oleh netizen. Sementara si pria relatif sepi dari hujatan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline