Lihat ke Halaman Asli

Untuk Wanita yang Menolak Aborsi, Salut!

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hamil itu susah. Berat. Menenteng beban berkilo – kilo, menanggung mual dan pusing sepanjang hari, belum lagi kalau perut makin membuncit, pengen tengkurep aja gak bisa! Errrrr. Namun saat – saat berat menjalani masa satu raga dua nyawa, agak teringankan dengan senyum seluruh keluarga besar menanti kehadiran sang jenderal cilik. Keturutan dah jadi ratu selama 9 bulan!

Lagi ngidam rujak, weeerrrrr, suami siap sedia mencarikan rujak tengah malam untuk istri dan calon bayi tercinta. Di kantor, semua orang mendadak perhatian, duh… jangan angkat yang berat – berat donk, kasihan tuh dedeknya! Yippi, tugas di kantor menjadi jauh lebih ringan karena semua orang memaklumi kondisi yang sedang hamil. Lagi capek – capek punggung, ibu mertua siap memijit (kalau ini mah beruntung banget yah, hahaha).

Itu normalnya. Impian semua wanita. Tapi sialnya, di dunia ini selalu ada kata tidak normal untuk setiap kejadian. Bayangan menanggung beban kehamilan berdua bersama suami bakal beneran cuma jadi bayangan kalau kehamilan yang terjadi adalah kehamilan yang tidak diinginkan. Hamil di luar nikah.

Dimulai dari mens yang terlambat. Cek lewat test pack, positif. Kurang percaya? Ulang lagi dengan test pack lain merk. Hasilnya tetap. Positif. Si pria-ahli-parkir-burung dihubungi, dengan gagah dia bilang, aku akan tanggung jawab. Namun seiring makin membesarnya perut sang wanita, makin menciut kegagahan si pria-ahli-parkir-burung yang katanya akan bertanggungjawab tadi. Mulailah dia berkelit – kelit dengan sejuta alasan. Makin susah dihubungi, hingga akhirnya dia menghilang tanpa jejak. Tinggallah sang wanita berdua dengan janinnya. Ironis. Sinetron? Bukan! Ini nyata! Banyak kisah serupa!

Kemudian sang wanita dan janinnya dihadapkan dengan begitu banyak opsi. Mengaku ke keluarga pria-ahli-parkir-burung, mengaku ke ortu, lapor polisi, lapor ke dukun, kabur dari rumah, bunuh diri, dan aborsi. Dua opsi terakhir adalah opsi konyol tak terukur. Aborsi dan bunuh diri memang pilihan, tapi entah masih layak untuk dipilih atau tidak. Angkat topi untuk wanita – wanita yang menghilangkan dua opsi terakhir. Pilihan paling mudah memang, namun sekaligus paling tidak manusiawi. Ini tentang nyawa, jelas lebih penting dari wibawa.

Hal kompleks serupa terjadi pada teman saya. Seorang wanita. Saya mengetahui kehamilannya ketika sudah memasuki usia 9 minggu. Keluarga pacarnya sekaligus pacarnya kompak menolak bertanggungjawab dengan alasan si pria belum sarjana walau sudah bekerja. Kampret banget ya nih keluarga, pikir saya. Untuk mengaku ke orang tuanya, teman saya agak ragu, mengingat orang tuanya sangat keras dan kaku. “Bisa – bisa aku ma bayiku dibunuh bapakku, Ndra!” katanya. Dan akhirnya, teman saya memilih kabur dari rumah. Dengan persiapan seadanya, dia mengungsi ke kota tetangga hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Entah bagaimana nanti endingnya, saya hanya mampu berharap yang terbaik. Oh ya, kandungan teman saya ini sekarang masuk bulan ketiga.

Salam salut untuk wanita – wanita yang memilih menjadi single fighter! Termasuk teman saya tadi. Berat? Banget! Malu? Jangan ditanya! Stress? Apalagi! Anggap saja ini penebusan dosa, begitu kata teman saya. Terserahlah apa kata orang, yang pasti ini lebih manusiawi dari pada aborsi, tambahnya. Dengan mempertaruhkan nama baik dan masa depan, dia memilih menghidupi dirinya sendiri dan bayinya. Janin itu tidak berdosa. Dia tidak minta hadir di dunia, kita lah yang menyebabkan dia ada.

Kalau belum siap dengan kehadiran seorang bayi, gunakan kontrasepsi. Play safe. Saya mengajarkan sex bebas? Terserah sajalah menilainya. Tidak perlu saya menjlentrehkan dalil – dalil agama disini, kita semua sudah paham apa hukum berbuat zina. Pikirkan saja nyawa tak berdosa yang mungkin lahir akibat perbuatan ini. Kalau memang siap dengan konsekuensinya? Terserah. Sekali lagi, itu pilihan. For doing sex or not, for using contraception or not.

**Maaf kalau sok tahu, saya memang belum pernah hamil**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline