Lihat ke Halaman Asli

Ki Sugito Nuswantoro

Happy itu Simple

Bubur Ayamku dan Virus Corona Itu

Diperbarui: 17 Maret 2020   23:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Hari Senin 16 Maret 2020. Pukul 11.30 wib saya menutup lapak kaki lima dimana saya berjualan bubur ayam. Jumlah mangkok yang saya rekap sebanyak sepuluh mangkok dan jumlah bubur yang dibeli dengan cara dibungkus sebanyak sebelas  bungkus. Jumlah sate ( usus dan ampela ati ayam ) sebagai menu pelengkap ketika makan bubur ayam sebanyak 7 tusuk. 

Jadi total pendapatanya adalah sebagai berikut. Harga semangkok ( 1 porsi ) bubur ayam adalah Rp. 8.000, maka Rp. 8.000 dikalikan 21 mangkok sama dengan Rp. 168.000 dan dari hasil penjualan sate adalah Rp. 2000/tusuk dikalikan 7 sama dengan Rp. 14.000. Jadi totalnya adalah Rp. 168.000 + 14.000 = Rp. 182.000.

Sedangkan modal dagang untuk pembelian beras, daging ayam, jeroan ayam, minyak, kerupuk, cabe merah, gas dan lainya adalah Rp. 150.000. Jadi masih ada saldo sebesar Rp. 32.000. Terima kasih masih ada saldo hehehe....

Hari ini Selasa 17 Maret 2020 seperti biasa pukul 11.30 wib saya menutup lapak tempat saya berjualan bubur ayam. Adapun rekap penjulan untuk hari ini adalah sebagai berikut : sembilan mangkok kotor yang saya cuci artinya adalah sembilan mangkok pembeli bubur ayam yang makan di tempat. 

Sedangkan jumlah bungkus sterefoom yang saya gunakan sebagai kotak pembungkus bubur sebanyak sepuluh buah, jadi total penjualannya untuk hari ini sebanyak sembilan belas porsi. 

Sedangkan sate yang terjual sebanyak tujuh tusuk. Jadi jika kembali direkap total pendapatannya adalah 19 porsi x Rp. 8000 = Rp 152.000,- ditambah dengan hasil penjualan sate sebanyak 7 tusuk x Rp. 200 = 14.000,- sehingga jumlah totalnya adalah Rp. 166.000,-. Sedangkan pengeluaran rutin belanja kebutuhan bubur ayam adalah Rp. 150.00,- terimakasih masih ada saldo Rp. 16.000,- hehehe.....

Saldo Rp. 32.000 di hari Senin dan saldo Rp. 16.000,- di hari Selasa mesti saya syukuri dengan bahagia. Meskipun jika ulang penghasilan sebesar itu tidaklah sebanding dengan waktu dan tenaga yang saya keluarkan. Persiapan rutin untuk menjadi bubur ayam memakan waktu yang super estafet. 

Ritual super estafet itu berturut-turut dimulai dari membuka lapak, melayani pembeli dan beres-beres menutup lapak termasuk mendoron pulang gerobak. Setelah memarkir gerobak segera saya pergi kepasar untuk belanja buat menyiapkan jualan hari besok. Waktu pergi kepasar kurang lebih memakan waktu 1 jam. 

Pulang dari belanja kembali menyiapkan ubo rampe dimulai dari mencuci panci perebus dan berkakas lainya yang tadi pagi belum dicuci karena harus pergi bersiap-siap membuka lapak dari pukul 05.00 wib. 

Maka itu ketika pulang belanja dari pasar, maka perabok yang masih kotor segera saya cuci. Kuah bubur ayam dan sambel juga begitu, selesai pulang dari pasar segera dipanaskan diatas kompor. Itulah kira-kira gambaran super sibuk penjual bubur ayam yang hampir tidak kunjung usai dalam pengerjaan mempersiapkannya.

Pelanggan bubur ayam saya 75% adalah para mahasiswa karena lokasi saya berjualan adalah tepat di depan kampus utama Universitas Jenderal Soedirman. Menempati trotoar yang pass mengarah ke pintu keluar selatan kampus yang mengambil nama besar panglima jenderal itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline