Sunrise di Penanjakan- Bromo, fenomena alam spektakuler yang tidak ada duanya. Aku sekeluarga bersama beberapa orang keponakan kesana liburan sekolah kali ini. Perjalanan berawal dari kota Malang. Berangkat pukul 2.30 siang dengan Avanza sewaan menuju Wonokitri. Kami sudh memesan penginapan didesa itu, hasil searching internet. Tarif yang ditawarkan cukup murah 150 ribu satu kamar dengan double bed dan 175 ribu dengan 2 double bed, cukup untuk kami bertujuh. Jalur yang ditempuh lumayan juga, sempit, menanjak dan berkelok kelok, namun pemandangan yang disuguhkan sepanjang perjalanan sangat menarik. Kurang lebih 3 jam kami sampai di Wonokitri, di lapangan parkir terakhir sebelum masuk kawasan konservasi. Tempat itu dikelilingi oleh penginapan2 sederhana. Begitu turun dari mobil, banyak yang menawarkan dagangan penghangat tubuh seperti kaos kaki, sarung tangan, syal, penutup kepala. Ada juga yang menyewakan jaket. Jadi jangan kuatir kalau tidak membawa jaket tebal penahan dingin yang luar biasa di puncak Penanjakan, kita bisa menyewanya. Namun kami sudah siap sedia dengan peralatan tersebut dari rumah. Sore di Penanjakan belum terlalu dingin, angin juga tidak terlalu kuat bertiup. Setelah mengisi perut dengan semangkok bakso ditambah lontong, kami memutuskan untuk beristirahat saja di dalam penginapan. Tidak ada yang bisa dilihat di luar, hanya kegelapan sejauh mata memandang.
[caption id="attachment_194238" align="aligncenter" width="300" caption="Gerbang Selamat Datang"][/caption]
Besok kami sudah harus berangkat pukul 3.30 pagi ke lokasi pengamatan sunrise. Alarm diset pukul 2.45supaya kami tidak kesiangan. Hartop untuk besok pagi sudah dipesan, 600 ribu untuk membawa kami ke 4 lokasi, puncak Penanjakan menunggu sunrise, lalu turun ke lautan pasir Bromo, lanjut ke pasir berbisik dan sabana.
Pukul 3.30 kami keluar penginapan. Lapangan parkir sudah dipenuhi dengan Hartop dan orang orang. Padahal mereka semua tidak tampak semalam. Hampir hampir kami menyangka tempat ini sepi pengunjung karena hanya 4 mobil pribadi yang terlihat diparkiran. Hartop kami berjalan beriringan dengan yang lain. Selain Hartop, banyak juga yang menggunakan motor menuju ke lokasi. Di pintu masuk kami berhenti untuk membeli tiket masuk kawasan konservasi Tengger- Bromo. Per orang 4500 rupiah. Hari masih gelap, belum bisa bisa melihat pemandangan sekitar. Hartop bergerak pelan mendaki jalanan sempit. Kurang dari satu jam, kamipun sampai.
Lokasi pengamatan matahari terbit sudah dipenuhi orang. Kami mendaki tangga menuju puncak. Angin bertiup kencang membuat kami merapatkan jaket, menutup telinga dan hidung agar hangat. Anak- anak memakai jaket double, tapi hawa dingin masih menebus juga. Di puncak disediakan bangku bertingkat berderet deret. Juga disediakan mushola dan toilet. Dan jangan kuatir untuk yang ingin mengisi perut, banyak warung di sekitar yang menyediakan minuman hangat dan makanan. Kalau masih dingin juga, bisa menyewa jaket. Kami bertahan dengan perlengkapan penghangat sendiri. Sesekali melompat lompat untuk menaikkan suhu tubuh.
[caption id="attachment_194239" align="aligncenter" width="300" caption="The Sunrise"] [/caption]
Menjelang pukul 5.00 seberkas cahaya mulai muncul di ufuk timur, lalu diikuti dengan semburat merah yang semakin terang. Sayang awan tebal menggantung di langit, matahari malu- malu menampakkan diri. Walhasil matahari muncul sempurna pukul 6.00, namun sinarnya sudah menyilaukan mata. Sinar pagi yang muncul perlahan menampilkan efek dramatis penampakan gunung Semeru, Bromo dan Batok. Pemandangannya luar biasa spektakuler. Semeru menjadi latar belakang, menjulang tinggi mengepulkan asap dengan gagahnya dari puncak. Bromo menganga memperlihatkan kawahnya yang terbuka sangat luas. Gunung Batok menelungkup persis seperti tumpeng yang sudah dipotong puncaknya. Lautan pasir disekitar pegunungan. Awan dan kabut mengantung tipis menyelimuti alam seperti disemprotkan dengan sprayer. Semak dan pepohonan mengayun lembut ditiup angin. Kami ada di surga dunia. Sangat indah, sebanding dengan perjuangan kami menahan dingin di puncak. Setelah puas berfoto foto, kami turun kembali ke Hartop. Perjalanan berlanjut turun ke lautan pasir.
[caption id="attachment_194240" align="aligncenter" width="300" caption="Pemandangan dari Puncak Penanjakan"] [/caption]
Trek menuju lautan pasir, kekaki gunung Bromo sangat menantang. Hartop kami bergerak perlahan. Jalannya sangat curam dengan aspal yang mulai mengelupas membuka lapisan batu dan kerikil. Beberapa sepeda motor berjalan didepan kami, sesekali pemboncengnya turun karena beratnya medan. Tak terbayangkan bagaimana motor itu bisa melaluinya. Perlahan tapi pasti, kami sampai di dataran pasir dan mulai melaju lancar. Hartop kami harus diparkir jauh didepan pura. Sebuah pura yang luas di hadapan gunung Bromo tempat suku Tengger melakukan ritual Kasada setahun sekali. Jauh di hadapan kami puluhan manusia berjalan beriringan menuju tangga gunung Bromo. Terlihat sangat jauh dari tempat parkir mobil. Para penunggang kuda berdatangan menghampiri menawarkan kuda untuk ditunggangi sampai di bawah tangga Bromo. Kami memutuskan untuk berjalankaki saja. Sinar matahari pagi memanggang pasir dan meruapkan hawa panas ke udara, membuatku memutuskan untuk menganti kostum. Jaket dilepas menyisakan kaos tipis berlengan panjang. Penghangat kepala dilepas diganti dengan topi lebar utk melindungi kepala dan wajah dari sengatan mentari. Syal yang tadinya melilit leher sekarang dililitkan ke wajah menutupi hidung dan mulut, menghindari serbuan pasir yang dibawa terbang angin. Kita juga bisa membeli face mask yang dijajakan pedagang asongan di sekitar tempat parkir. Bagi yang tidak membawa syal, belilah face mask, percayalah alat itu sangat dibutuhkan untuk menyaring udara yang kita hirup. Selesai persiapan, kami mulai berjalan menuju tangga. Manusia berjalan beriringan dengan kuda yang menderap, mengepulkan debu di jalur yang dilewatinya. Menyesakkan napas orang di belakangnya. Padahal angin kencang yang sesekali bertiup sudah cukup merepotkan, ditambah lagi dengan derap kuda, komplit sudah penderitaan. Saran bagi pengelola kawasan konservasi Bromo, harap jalur pejalan kaki dan kuda dipisahkan.
[caption id="attachment_194241" align="aligncenter" width="300" caption="Pura Suku Tengger"] [/caption]
Tangga
Bromo semakin mendekat dan akhirnya kami sampai di anak tangga pertama. Menaiki tangga ke puncak juga bukan perkara mudah. Anak- anak tangga tertutup pasir tebal, harus berhati- hati memijaknya. Niat untuk menghitungnya tak terwujud, otak sudah tak mau diajak kompromi untuk berhitung. Setapak demi setapak anak tangga kami jejaki, sambil sesekali berhenti karena orang di depan kami berhenti untuk beristirahat. Akhirnya kami sampai dipuncak. Tanah datarnya sempit. Aku berdiri tegak di tepi kawah Bromo. Jurang curam menuju dasar kawah di sisi kiriku, gunung Batok yang hijau di sisi kananku. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, pemandangan yang luar bisa terhampar. Kawah Bromo diselimuti kabut putih. Pura Tengger tampak di kejauhan dengan latar putih, entah diselimuti kabut, entah debu pasir. Tampak seperti istana kerajaan di atas awan, sebuah istana khayalan. Aku berdiri di sini, di puncak gunung Bromo, meresapi keindahan alam, menikmati karyaNya, bersama kehangatan keluarga.
[caption id="attachment_194242" align="aligncenter" width="300" caption="Gurun Pasir Bromo"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H