Kekuatan Komunikasi: Nawisa Si Pengembara & Sang Mata Bercerita
Di dunia yang penuh tantangan, setiap perjalanan terasa seperti panggung pertunjukan yang dihiasi berbagai warna karakter manusia, masing-masing dengan peran yang sudah ditentukan dalam kehidupan ini. Segala sesuatu akan berjalan dengan baik melalui interaksi dan komunikasi. Sebuah kata yang sulit terucap bisa terlihat melalui mata, karena “Setiap pertemuan adalah cerita, setiap mata memiliki kisahnya.”
Rata-rata manusia memiliki hasrat untuk menjelajah, sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Ankabut (29:20), yang mendorong manusia untuk menjelajahi bumi dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah melalui ciptaan-Nya. Petualangan mengajarkan tentang keindahan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, keberanian mengambil tindakan dan keputusan, serta pengenalan diri sendiri. Petualangan tidak selalu berkaitan dengan pemecahan masalah di alam terbuka atau perjalanan fisik, tetapi bisa juga tentang mengembara untuk belajar dari pengalaman maupun hikmah dari suatu sejarah yang mengajarkan bagaimana cara kita memandang dunia, meskipun tak dapat terlihat dengan mata sekalipun.
Dalam kesempatan ini, "Sang Mata Bercerita" akan menceritakan seorang figur bernama "Nawisa Si Pengembara". "Sang Mata Bercerita" sendiri adalah sebuah konsep yang mengajak kita untuk lebih mendalami suatu rasa. Mata sebagai jendela jiwa menceritakan kisah yang lebih dalam daripada sekadar apa yang tampak di permukaan, serta perjalanan dalam pencarian jati diri. Dengan menggunakan teknik-teknik mindfulness, bukan hanya tentang meditasi, tetapi juga tentang cara hidup yang mengajarkan untuk lebih sadar akan pikiran, perasaan, dan pengalaman agar dapat membantu seseorang menjadi tenang, sadar, dan lebih menikmati kehidupan.
Nawisa adalah seorang pengembara yang terus menjelajahi tempat-tempat asing, tidak hanya untuk melihat dunia, tetapi juga untuk mencari makna hidup yang sering kali terasa samar. Dalam perjalanannya, Nawisa bertemu dengan Sang Mata Bercerita, sebuah entitas misterius yang dapat membaca jiwa dan menyampaikan kisah penuh hikmah melalui tatapannya. Melalui kisah pertemuan mereka, Nawisa belajar bahwa setiap perjalanan memiliki tujuan, meskipun tidak selalu terlihat sejak awal. Dari Sang Mata Bercerita, Nawisa memahami pentingnya berhenti sejenak untuk merenungkan makna di balik setiap langkah, kegagalan, dan pertemuan dalam hidup.
Kisah ini mengajarkan bahwa hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti. Nilai sejati ditemukan bukan dalam pencapaian, melainkan dalam proses mencari, bertanya, serta menerima bahwa setiap pengalaman, baik manis maupun pahit, adalah bagian dari pembelajaran yang membentuk diri.
Mindfulness: Nawisa Si Pengembara
Berjalan tanpa henti dengan arah tujuan yang tak jelas, suatu pagi dengan suasana terselimut kabut, seorang pengembara bernama Nawisa sampai di sebuah lembah yang tak terjamah waktu. Setiap tapak kaki yang dirasakan adalah kesepian, melangkah sendiri di antara pepohonan tinggi nan rimbun yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Angin sepoi-sepoi, namun bukan sekadar udara yang membawa aroma khas tanah yang terguyur hujan.
Tiba-tiba, “Woosh… woosh… woosh...” terdengar suara misterius yang memecah keheningan. Nawisa menoleh ke atas langit, terlihat burung raksasa yang terbang berputar, seakan memudarkan kabut. Tepat di bawahnya, ada Nawisa Sang Pengembara. Burung itu terbang semakin rendah hingga turun tepat di depan Nawisa. Nawisa siaga dengan kemunculan hewan raksasa yang ternyata adalah seekor kuda putih bersih yang memiliki sayap, bukan burung raksasa seperti yang ia sangka. Konon, dalam dongeng rakyat yang tersebar di desa tempat tinggalnya, hewan mitologi ini dikenal dengan nama Buraq.
“Tak-tak-tak-tak-tak,” kuda bersayap itu mendekati Nawisa, yang selangkah mundur menjauh. Tanpa mengeluarkan suara apapun, dengan tatapan yang begitu lembut, kuda itu mengarahkan kepala lebih rendah dari badannya, perlahan merendahkan tubuhnya seperti mengisyaratkan sesuatu. Nawisa merasa ada sesuatu yang menggerakkan hatinya. Ia memberanikan diri mendekati kuda tersebut. Mengusap kepalanya perlahan, terketuk untuk naik ke badan kuda dan akhirnya Nawisa mencoba naik.
Sang Buraq terbang dengan anggun membawa Nawisa Si Pengembara ke langit yang luas. Dari atas, ia terpana menyaksikan hamparan sawah hijau yang membentang di antara pepohonan tinggi yang menyelimuti tanah, serta sungai yang berliku-liku, terlihat begitu kecil namun tampak sangat mendukung keindahan dari atas.
Perjalanan yang cukup singkat, Sang Buraq mendaratkan Nawisa di dalam sebuah gua yang minim cahaya dan sunyi. Cahaya matahari yang masuk melalui celah bebatuan langit gua bersinar menerangi setiap langkah Nawisa.“Mengapa kau membawaku kemari?” tanya Nawisa Si Pengembara dengan penasaran. Tanpa kata, Sang Buraq berjalan di depan Nawisa, seakan mengarahkan pada suatu tempat. Keheningan terpecahkan oleh suara gemerisik dedaunan yang terkena hempasan angin dari celah bebatuan langit gua—lubang yang tidak sebesar semangka, namun tidak sekecil biji mangga. Sang Buraq berhenti di depan dedaunan merambat yang rimbun, menoleh ke arah Nawisa tanpa kata, namun dari sorot matanya seolah mengisyaratkan, "Silakan buka."