Lihat ke Halaman Asli

Sebelum Habis 21 April 2017

Diperbarui: 22 April 2017   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Sama seperti judulnya, tulisan ini baru saya buat malam ini juga, sebelum habis 21 April 2017, seperti dikejar deadline saja ya. Saya nggak mau nunggu sampai tahun depan, momen satu tahun sekali ini sudah sepatutnya kita apresiasi. Sebetulnya beberapa tulisan bertemakan “Hari Kartini” sudah nongkrongin PC saya dari beberapa bulan yang lalu. Tapi entah kenapa rasanya malas sekali menyelesaikan tulisan-tulisan itu. Mungkin cukup sulit bagi saya untuk menulis dengan gaya dan bahasa yang diplomatis, niatnya sih mau bikin artikel yang ‘agak berat’. Tapi apalah daya, alhasil malah tulisan ini yang nampang di timeline kompasiana. Dengan bahasa yang santai dan agak ngawur, saya ingin mengutarakan unek-unek tentang gerakan yang luar biasa dahsyatnya yakni yang biasa kita sebut dengan “Emansipasi”.

            Emansipasi diartikan sebagai persamaan hak antara kaum perempuan dengan kaum pria dalam berbagai aspek kehidupan. Berawal dari kumpulan surat R.A Kartini yang menceritakan kehidupannya sebagai seorang perempuan yang terbelenggu dan merasa terkurung di dalam rumahnya sendiri. Tulisan Kartini ini rupanya mewakili sebagian besar suara perempuan di Indonesia pada awal masa penjajahan, sehingga lahirlah gerakan emansipasi. Dengan dicetuskannya gerakan emansipasi, kehidupan perempuan di negeri ini mengalami banyak perubahan. Mereka diberi hak dan kebebasan yang sama dengan kaum pria, mereka boleh keluar rumah, pergi sekolah, ke pasar, bekerja, dan berbagai kegiatan lainnya. Melalui gerakan emansipasi perempuan diharapkan menjadi sosok yang lebih cerdas, kuat, mandiri, berkarakter, dan berdaulat.

           Tetapi sekarang ini makna emansipasi sendiri rupanya sudah banyak bergeser. Sudah seabad lebih usia ‘emansipasi’ pantas saja jika mengalami banyak penyusutan. Kebebasan yang awalnya diberikan semakin tidak terarah ketika dimaknai menjadi ‘bebas-sebebas-bebasnya’. Satu- persatu kebebasan yang keluar dari aturan semakin dimaklumi oleh masyarakat. Emansipasi sudah banyak terkontaminasi dengan budaya barat, sekarang ini kaum perempuan semakin terjerumus ke dalam penjajahan modern oleh emansipasi itu sendiri.

           Perempuan semakin bebas mengekspresikan dirinya. Sebagai salah satu contoh sisi negatifnya, dengan pakaian terbuka dan minim mereka sebut itu sebuah kebebasan. Dengan make up tebal dan berlenggak-lenggok di muka umum mereka sebut itu dengan kecantikan. Kapitalis yang paham akan peluang ini kemudian mengambil kesempatan, mereka menaruh perempuan di garis depan perusahaanya. Dengan kecantikannya, cara berpakaiannya, perempuan kemudian digunakan untuk menarik konsumen, agar roda perusahaan terus berjalan. Dijadikan sebagai sales, ikon, model iklan, dan sebagainya dengan cara mengumbar kecantikannya untuk dinikmati khalayak, saya rasa hal ini akan berujung kepada eksploitasi perempuan tanpa mereka sadari. Lebih ngerinya lagi, ketika kehormatan seorang perempuan sudah bisa dibeli, hal ini mengakibatkan semakin menjamurnya pekerja seks komersial, semakin mudah dan bebasnya perdagangan perempuan. Sungguh ini menjadi sebuah ironi arti kebebasan pada emansipasi itu sendiri, sebuah eksploitasi yang bertajuk emansipasi.

           Emansipasi yang digagas oleh Kartini bukanlah emansipasi yang demikian. Propaganda emansipasi yang mengusung kebebasan ‘bebas-sebebas-bebasnya’ membuat perempuan lupa pada fitrahnya. Contohnya saja, sekarang ini banyak ibu rumah tangga yang memilih untuk bekerja di luar, menghabiskan waktunya di luar demi tuntutan karier, kemudian menyerahkan tugas mulianya yakni mendidik anak dan mengurus rumah kepada asisten rumah tangga. Sungguh memilukan ketika seorang anak tumbuh dengan kurangnya perhatian dan kasih sayang penuh dari sang ibunda. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak, ia bertugas menjaga kehormatan dirinya, keluarga, memberikan perhatian penuh pada keluarga, serta menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangganya. Coba bayangkan, betapa tenang dan tenteramnya sebuah keluarga apabila tugas seorang ibu terpenuhi dengan baik.

           Oleh karena itu, mari kita kembalikan kemurnian makna emansipasi yang digagas oleh Kartini. Emansipasi yang dicetuskan oleh Kartini bukanlah untuk menyaingi kaum pria, bukan untuk berlomba-lomba keluar rumah, berkarier demi mengejar “kesamaan” finansial dengan kaum pria hingga lupa pada kewajiban utamanya. Kita kembalikan kepada tujuan awal, menjadikan perempuan sebagai sosok yang cerdas, kuat, mandiri, dan berkarakter agar dapat mendidik ‘berliannya’ dengan baik dan menciptakan generasi cerdas dan tangguh. Sebagaimana yang diungkapkan Kartini dalam salah satu suratnya ke Profesor Anton - dalam karyanya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum perempuan, agar perempuan lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline