Hi Milenials!
Masa remaja sama dengan masa kritis?
Masa remaja adalah masa dimana kita mencari jati diri dan mengalami krisis identitas, karena masa ini merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Di masa ini terjadi banyak perubahan, seperti perubahan kognitif, fisik, dan sosioemosional (Santrock, 2012). Masa remaja juga masa-masa yang penuh dengan konflik dan tekanan, seperti masalah hubungan sosial dan masalah suasana hati.
Perawatan kesehatan mental remaja sangat penting, namun sering diabaikan oleh masyarakat sekitar. Kesehatan mental juga sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Namun, fakta nya, tidak banyak yang memperhatikannya. Masyarakat lebih fokus pada kesehatan fisik remaja saja, sehingga ketika kesehatan mental ini diabaikan, dan menimbulkan masalah mental yang juga diabaikan dan tidak terdeteksi ini akan membawa dampak yang besar bagi remaja. Di lansir dari unicef.org, diperkirakan terdapat lebih dari 1 dari 7 remaja berusia 10-19 tahun di dunia yang telah di diagnosis gangguan mental.
Apalagi di era pandemic Covid-19 ini membuat remaja menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Tak jarang dari mereka yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri.
Di Indonesia sendiri menurut hasil survey Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang di lansir dari dataindonesia.id, bahwa 1 dari 3 remaja berusia 10-17 tahun di Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir, atau yang setara dengan 15,5 juta remaja di negara ini. Oleh karena itu, kesehatan mental pada remaja tidak boleh dianggap sepele.
Istilah Self-Talk tentu sudah sering terdengar bukan?
Dalam kehidupan sehari-hari, kita secara tidak sadar sudah melakukan Self-Talk lho. Bahkan ketika pikiran kosong pun kita secara tidak sadar telah melakukannya. Adakah dari kalian yang sering mengucapkan "Yuk semangat yuk! Pasti bisa!" pada diri sendiri? Kalimat tersebut ternyata sudah termasuk Self-Talk.
Self-Talk sendiri merupakan tindakan berbicara kepada sendiri tentang perasaan yang sedang dirasakan. Self-Talk juga dapat mengatur dan meningkatkan kepercayaan diri. Self-Talk dapat dilakukan dalam bentuk diucapkan sehingga terdengar oleh telinga, maupun mengobrol dalam hati sehingga tidak terdengar dengan telinga.
Self-Talk dicetuskan oleh Albert Ellis pada tahun 1993. Self-Talk merupakan bagian dari pendekatan REBT (Rational Emotif Behaviour Therapy) (Sherien, 2020). Dengan adanya Self-Talk dapat mendorong atau membuat penguatan, motivasi, dan focus yang ada dalam diri. Self-Talk dilakukan untuk membuat diri menjadi lebih tenang, bukan untuk memaksakan dan merubah perilaku untuk menjadi individu tertentu.