Lihat ke Halaman Asli

kiramim bararah

menulis adalah jalan menuju keabadian

Aplikasi Teori Tanfidz dan Tafwidh dalam Al-ahkamus As-sulthaniyah di Indonesia

Diperbarui: 22 Februari 2023   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

alasan dari mengapa ummat islam (jika kita tidak Ingin mengatakan bahwa ini adalah ajaran islam) melihat bahwa memilih pemimpin adalah hal yang krusial, sederhananya adalah karena ummat islam merasa ada beberapa kepentingan-kepentingan mereka yang perlu untuk diakomodasi/diperhatikan oleh penguasa. hal yang menurut saya sangat wajar dilakukan oleh setiap kelompok baik yang dipersatukan karena ras, keturunan atau agama sekalipun.

dlm hal ini mari kita gunakan teori yang sering dirujuk oleh ormas yang dianggap paling moderat di indonesia, yaitu NU

menurut al-mawardi dalam al-ahkamus as-sulthaniyah pejabat dibagi menjadi 2 yaitu pejabat dlm lingkup tanfidz dan tawfidh. pembagian tugas antara mereka sebagai berikut :

Tafwidh : penanganan hukum dan analisa berbagai kezaliman, menggerakkan tentara dan mengatur strategi perang, mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi

Tanfidz : pelaksanaan dari peraturan yang telah dibuat dan dikonsep oleh pejabat tafwidh

kemudian mari kita lihat bagaimana praktiknya di Indonesia. untuk itu kita perlu melihat hukum tata negara kita bagaimana. di Indonesia hierarki hukumnya adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

dalam prakteknya yang berhak membuat dan merubah UUD 45 adalah MPR sedangakan untuk UU adalah pemerintah dan juga DPR-RI. sehingga menurut saya agak susah untuk mendefinisikan mana Lembaga di Indonesia yang masuk kategori tafwidh atau tanfiz. 

Bahkan saya lebih condong dlm tataran nasional presiden memegang peran tanfizh dan juga tafwidh, karena presiden merupakan pelaksana UU dan juga pihak yang berhak mengajukan UU. bahkan dlm hal militer presiden lah yang berhak menunjuk panglima TNI dan Polri, DPR hanya menolak atau setuju saja, kalo ditolak pun yang memilih calon pengantinya juga presiden lagi, polanya akan terus seperti itu.

ditambah jika kita melihat kenyataan bahwa pembagian kekuasaan kementerian oleh presiden dijadikan alat untuk memperkuat dominasi persetujuan di tingkat legislatif. peran presiden semakin menghilangkan peran DPR, jika DPR ingin kita anggap sebagai lembaga tafwidh. lebih jauh lagi presiden punya hak untuk membuat Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (tanpa menunggu persetujuan DPR terlebih dahulu, ingat ini setara dengan UU walaupun harus langsung masuk prolegnas di masa sidang berikutnya) dan juga PP serta Perpres. 

Sehingga untuk kasus Indonesia saya lebih suka menganggapnya tanfiz dan tafwidh keduanya dipegang oleh presiden. sehingga sesuai dengan teori Al-Mawardi maka presiden haruslah seorang muslim,tidak boleh non-muslim. hal ini juga berlaku untuk Lembaga eksekutif seperti gubernur dan walikota karena tata aturan dan fenomena yang terjadi kurang lebih sama. namun, saya masih setuju untuk membolehkan wilayah yang mayoritas penduduknya adalah non-muslim boleh (bahkan saya mendorong) untuk dipimpin oleh orang non-muslim

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline