Lihat ke Halaman Asli

Ki Penjawi

konsultan lepas social marketing

Apakah Pemimpin Harus Lebih Pandai dari Anak Buah?

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam keramaian hiruk pikuk, dukung mendukung capres/cawapres ada satu ungkapan yang cukup menarik: “wah di Fulan itu gue banget”. Mungkin orang tersebut bermaksud menekankan bahwa si Fulan tersebut adalah identic dengan dirinya sehingga dia nyaman. Namun harus di-ingat, definisi nyaman disini dalam konteks apa? Apakah si Fulan hanya sebatas konco atau si Fulan dijadikan pemimpin.

Yang ditakutkan adalah bila si Fulan ini kemudian menjadi pemimpin-nya? Cepat atau lambat, si Fulan pasti akan menghadapi problem,

Mengapa? Logikanya sangat sederhana. Salah satu sifat dasar manusia, diakui atau tidak, ingin selalu menang, ingin selalu mendapat perhatian dan berbagai keinginan lainnya yang menjadikannya, minimal satu level diatas kelompoknya. Otomatis hal yang sama berlaku dalam sebuah komunitas yang kecil seperti kelompok arisan, RT atau geng motor. Dengan demikian, konteks ini berlaku pula saat kelompok ini mencari pemimpin.

Dalam konsep kepemimpinan yang ideal, sang pemimpin harus memiliki kelebihan dari yang dipimpin. Kalau cuma dianggap selevel saja (=gue banget) akan menjadi masalah, apalagi kalau lebih bodoh. Sang pemimpin dijamin tidak dihargai dengan konsekuensi akan didepak.

SBY adalah contoh aktual. Sebagai presiden, SBY adalah seorang intelektual tulen, memiliki jam terang luar biasa, dan yang utama, terbukti sukses membawa Indonesia menjadi 10 besar ekonomi dunia. Tetapi ini saja tidak cukup. Media berhasil menciptakan persepsi berbeda tentang SBY, dari sebuah ketenangan (=tidak terburu-buru) menjadi sebuah peragu dan lambat (=indecisiveness). SBY yang mumpuni saja bisa diplintir, apalagi bila kualitas sang capres tidak sebanding.

Akhirul kata, ungkapan bahwa “ si Fulan itu gue banget “, mungkin saja kurang tepat digunakan untuk mencari pemimpin. Bisa-bisa yang bersangkutan akan kecewa dimasa depan setelah mengetahui bahwa si Fulan ternyata cuma selevel dengannya.

Jadi siapapun yang akan dipilih sebagai pemimpin bangsa ini, harus membuktikan diri bahwa dia, minimal, harus satu level diatas masyarakat yang dipimpinnya. Prinsip dasar dalam memilih pemimpin sangat simple, hati kecil kita harus mempunyai rasa bangga terhadap pemimpin tersebut. Jadi sekarang terserah opini kita masing-masing dalam menjabarkan komponen kebanggaan tersebut. Mengutip istilah di dunia Iptek, mudahnya dibagi dalam dua segmen, hardware (penampakan fisik) dan software (sifat dan kemampuan non-fisik). Karena kalau tidak, bisa repot nantinya, begitukah bro?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline