Lihat ke Halaman Asli

Tokoh ‘Agama’ Selebritis; Antara Umat dan Pasar (Sebuah Pandangan Seorang Santri)

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejak lulus Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau sederajat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) saya memutuskan meninggalkan kampung halaman untuk sekolah di kota, tepatnya di Kriyan Kecamatan Kalinyamatan Kab. Jepara.

Di samping sekolah, saya nyantri di Pesantren Al-Qur’an asuhan K. Suhaimi, yang tak lain adalah Kepala Madrasah Aliyah Nurul Islam. Setahun kemudian, saya pindah pesantren ke Pesantren Raudlatul Huda Margoyoso di bawah asuhan KH. Muchlishul Hadi.

Lulus MA saya hijrah ke Jakarta untuk belajar di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Universitas Imam Ibnu Suud Jakarta. Dua tahun kemudian, setelah lulus dari Program I’dad Lughawy Bahasa Arab, setara dengan program diploma dua jurusan bahasa, saya pulang kampung untuk kembali nyantri dengan KH. Ali Dzikri di Pesantren Yanbuul Qur’an.

Pada tahun 2000 saya kembali ke ibu kota untuk sekolah di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (Institut PTIQ Jakarta). Di perguruan tinggi yang didirikan oleh Alm. KH. Moh. Dahlan (Mantan Menteri Agama RI) dan Alm. Letjen Ibnu Sutowo, KH. Ibrahim Hosein (Rektor Pertama Institut PTIQ), KH. Ahmad Zaini Miftah (Imam Besar Masjid Istiqlal) ini saya lulus pada 2005.

Bukan bermaksud mengulas secara jauh mengenai latar belakang pendidikan saya. Namun, saya hendak menunjukkan keterlibatan saya di dunia pesantren. Dengan maksud lain, bahwa saya tidak sebentar serawung atau hidup di lingkungan pesantren, yang sudah tentu di dalamnya terdapat unsur-unsur pesantren yaitu, kyai (ulama, pewaris para nabi) dan santri.

Meski tidak bertitel kyai atau ustadz sekalipun, paling tidak saya paham dan melek siapa saja yang layak menyandang gelar tersebut. Hal ini saya ungkapkan, karena melihat adanya fenomena unik di dunia modern zaman sekarang ini terkait alur simbiosis mutualis antara media (khususnya televisi) dan ketokohan dalam ranah agama (Islam).

Saya melihat, maraknya ustadz-ustadz muda (bahkan sesekali ditulis ulama dan tokoh agama) sedikit membuat geli. Mereka (maaf untuk tidak menyebutkan nama satu persatu) tampil dengan mode busana yang selalu up to date dengan perkembangan fashion dan gaya bicara yang memukau. Faktor yang paling menentukan adalah peran marketing serta manajer hebat dalam mempromosikan si ustadz.

Apa yang saya lihat tadi, semuanya sah dan tidak menyalahi adat. Bahkan, faktor-faktor penunjang tersebut menjadi tuntutan dakwah saat ini. Tapi, menjadi tidak kaprah ketika para publik figur itu tidak mampu mewarnai umat melalui media yang membesarkan mereka. Justru, terkadang mereka terbawa oleh arus media yang lekat dengan pasar.

Karenanya, ditemukan tayangan program televisi seorang ustadz muda yang masih lajang memamerkan proses tunangan, pacaran (kata sang ustadz, ta’aruf). Dalam kesempatan tertentu, ia memperlihatkan pernik-pernik (mulai dari pakaian hingga asesories) yang dimiliki kepada publik.

Media televisi saat ini terkesan memanjakan tokoh-tokoh semacam mereka. Salah satu caranya dengan membuat program spesial atau menyediakan ruang infotainment. Mereka tampil satu panggung secara bergantian dengan membawakan tema-tema tertentu yang berbeda-beda atau dengan menyetting drama infotainment buat mereka. Dalam hati, saya bergumam, ‘di mana kyai-kyai saya, orang-orang pesantren yang kapasitas kearifan dan ilmu lebih dari mereka?’

Wallahu A’lam....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline