Lihat ke Halaman Asli

Santri, Piagam Jakarta, dan Kesalahan Memahami Sejarah

Diperbarui: 23 Oktober 2016   12:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya menulis goresan ini masih dalam suasana kemeriahan Hari Santri Nasional. Ya, sejak tahun lalu, 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Berbahagialah NU, berbahagialah para santri, dan berbahagialah bangsaku. Jangan lupa ucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden H. Ir. Joko Widodo. Coba Prabowo yang jadi presiden belum tentu Hari Santri Nasional disahkan sampai detik ini.

Ngomong-ngomong tentang santri, saya teringat gejolak penolakan yang datang dari kubu Muhammadiyah tahun lalu terkait pengesahan Hari Santri. Ada dua poin utama yang membuat Muhammadiyah menolak hari santri ; pertama, dikhawatirkan penetapan Hari Santri bisa menyebabkan dikotomi umat khususnya antara kaum santri dan kaum abangan. Kedua, jika hari santri ditetapkan berdasarkan resolusi jihad Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari itu artinya ditetapkan atas kepentingan satu golongan tok (baca:NU)? Ndak kolektif dong?

Tapi lihatlah hari ini! Apa yang terjadi? Apakah kekhawatiran Muhammadiyah itu terbukti? Saya rasa tidak sama sekali. Ndak ada tuh gejolak dikotomi santri-abangan baik di tingkat elit maupun masyarakat awam. Tidak ada yang merasa dirugikan dengan penetapan Hari Santri Nasional setiap tanggal 22 Oktober. Yang ada malah gelombang apresiasi, dukungan, serta antusiasme berbagai elemen masyarakat menyambut dan mengisinya dengan berbagai kegiatan.

Sedangkan latar belakang historis penetapan Hari Santri pun tak patut untuk dipermasalahkan. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari adalah ulama hebat nan berjasa besar bagi bangsa. Dan toh juga penetapan hari nasional–apapun namanya–selalu memiliki latar belakang historis yang subjektif. Ndak ada yang kolektif-objektif. Silahkan bisa Anda cek kalau tidak percaya. Misalnya hari batik, hari ibu internasional, hari kebangkitan nasional, dan lain-lain. Kesemua itu sisi historisnya selalu subjektif.

Terbantah sudah kekhawatiran kubu Muhammadiyah akan penetapan Hari Santri sebagai Hari Nasional. Saya pun bersyukur setelah satu tahun berlalu suara-suara yang tak setuju dengan keputusan Presiden tersebut tak sehingar dahulu. Malah sebaliknya, kini mereka ikut mendukung dan berbahagia bahkan berpartisipasi dalam rangkaian peringatan Hari Santri Nasional. Ibarat beberapa partai alumni KMP yang awalnya melawan Jokowi, tapi kini perlahan namun pasti justru mendukung si Presiden sederhana.

Santri adalah bagian dari NKRI. Bahkan jauh sebelum NKRI ini berdiri kaum santri di bawah bimbingan alim ulama telah memulai memperjuangkan kemerdekaan. Sejarah mengakuinya bahkan Piagam Jakarta jadi saksi bisunya.

Sayang banyak yang beranggapan bahwa Piagam Jakarta adalah simbol kekalahan umat Islam Indonesia atas Pancasila yang nasionalis itu. Padahal tidak seperti itu juga, Bro. Ente salah kaprah dalam memandang sejarah kalau berfikir begitu. Justru Piagam Jakarta adalah bukti nyata pengorbanan umat Islam demi kemerdekaan dan persatuan bangsa.

Pancasila dan Piagam Jakarta tidak ada bedanya kecuali pada poin pertama. Ketuhanan Yang Maha Esa (versi Pancasila) dan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluknya (versi Piagam Jakarta). Awalnya Piagam Jakarta dihajatkan sebagai rumusan dasar negara, lalu kemudian direvisi dan ditetapkanlah Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara hingga hari ini.

Dalam perjalanannya Pancasila bukan tanpa onak dan duri. Beberapa kubu–berangkat dari keegoisan mereka masing-masing–merasa tidak puas dengan Pancasila. Muncullah pemberontakan PKI yang kemudian menjadi sejarah kelam peradaban bangsa. Mereka ingin Indonesia menjadi negara komunis agar kesejahteraan merata, agar tidak ada lagi kesenjangan sosial, agar kemiskinan dapat terhapuskan.

Yang kekinian. Eh, sebenarnya bukan kekinian ding, tapi isu lama yang kembali diangkat-angkat;khilafah. Sebuah sistem yang diklaim sebagai pemerintahan resmi dalam Islam meskipun al-Qur’an sendiri ndak secara spesifik meresmikan khilafah itu sendiri.

Al- Qur’an tak pernah secara eksplisit menerangkan dan menganjurkan sistem kenegaraan yang disebut khilafah. Sistem ini tidak ada dalam al-Qur’an. Negara yang disebut dalam al-Qur’an ada dua; Negara Tayyibah dan Negara Khabitsah. Kenapa hal tersebut tidak disebutkan? Bismillah, semoga hipotesa saya benar, itulah kehebatan al-Qur’an. Al-Qur’an tahu bahwa tidak semua negara dan bangsa di dunia ini cocok menggunakan pemerintah Islam yang sejenis khilafah itu. Di Timur Tengah, dengan budaya dan karakteristik khusus masyarakatnya mungkin cocok, tapi belum tentu demikian dengan Indonesia yang memiliki budaya dan karakteristik masyarakat tersendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline