Bukan cerita fiksi tapi ini kenyataan dan terjadi pada diri dan disekitarku. Terkadang ego selalu berbicara didepan jika menginginkan sesuatu, tidak terpikirkan bahwa sesuatu yang kita sukai itu suka atau tidak kepada kita ketika kita dengan egoisnya mengurung mereka meskipun kurungannya adalah sangkar emas, bahkan sesuatu itu menderita saja kita tidak tau, yang penting keinginan kita harus terpenuhi, itulah Ego.
Pada saat aku mulai paham karena sudah bergaul lama dengan jenis mereka ternyata hubungan itu terus ada, silih berganti mendatangiku dengan sembunyi-sembunyi maupun secara tampil dengan nyanyiannya, entah berapa banyak mereka datang tak terhitung hinggap berlarian dipohon dan ranting-ranting kecil silih berganti.
Jika pagi yang datang rombongan burung gereja yang memang tinggal diatas tandon air entah sudah berapa puluh ekor populasinya, kemudian datang rombongan kutilang yang semuanya bercericit, dibarengi dengan prenjak yang sangat cerewet.
Mereka datang dengan waktu masing-masing. Kalau kutilang berombongan dengan prenjak dengan Jalak, sedangkan perkutut datangnya bersamaan dengan derkuku entah mereka mulai jinak-jinak merpati, terkadang berani berjalan-jalan didekatku, pikirku ngledek banget burung-burung ini, apa tidak takut ditangkap? Terkadang datang burung cocarawa dengan suaranya yang cantik sampai terdengar “Kung” nya.
Sedangkan emprit gantil sepertinya bersarang pada pohon durian di tanah kosong diatas perumahan, ini juga cerewet sekali apalagi kalau minta air, burung yang terkenal melambangkan akan datangnya kematian ini sering disikapi sebuah pertanda jika ada nyanyian burung ini, karena jika didengarkan secara seksama nyanyianya seperti sedih memelas.
Dulu memang aku pernah mengurung mereka, saking suka dan cintaku sama mahluk bersuara emas berbulu indah, burung parkit cucarawa dan jalak sempat masuk kurungan, sedangkan burung kakak tua dan burung nuri pernah ku ikat dirumah-rumahan, mahluk cantik dan cerdas dapat menirukan suara manusia berbicara, tidak kalah dengan burung beo.
Itu dulu ketika aku masih muda. Itulah cinta. Saking cintanya kepada burung-burung lucu itu ya begitulah caraku menyayangnya.
Kalau ingat kasihan mereka tidak dapat bebas terbang meskipun makanan dan vitamin kucukupi. Kroto, jangkrik, belalang dan viamin temasuk menu makanannya. Kalau yang makan buah ya selalu dipenuhi berganti-ganti pepaya dan pisang.
Sekarang perhatianku tertuju pada kejadian hubungan ku dengan burung-burung liar tak bertuan, ketika rumahku banyak pepohonan, tiba-tiba banyak burung yang datang. Yang sangat menyenangkan adalah ketika musim kemarau, burung-burung itu datang beramai-ramai saat aku menyiram tanaman-tanaman ku. Ketika aku amati burung itu berkecipak didaun dan dahan bekas semprotan air. Dengan senangnya bulu-bulunya digibas-gibas didahan dan daun sambil menari dan bernyanyi-nyanyi, lucu sekali.
Setelah aku telaah, ternyata mereka juga butuh air untuk mandi secara burung, ya ampun menggelitik sekali tingkah mereka, apalagi ketika airku semprot keatas ada yang terbang melintas di semprotan air, berani menabrak air yang kusemprotkan, mengagumkan sekali.
Dengan adanya hubungan yang tidak menyiksa secara sepihak, aku selalu melihat hadirnya, mendengar suaranya, memandang ketika mereka menghampiri halaman kecilku, demikianlah hingga semua saling mendpatkan keuntungan, burung dapat untung dari rimbunan tanamanku yang banyak berisi santapannya semut rangrang yang disukai burung, tanamannya juga senang dahan dan batangnya tidak dirusak oleh rangrang dan ulat, sementara aku dapat menikmati cerianya kicauan burung yang bagus-bagus serasa di dalam hutan belantara.