Kejahatan pelecehan seksual di angkutan umum yang terjadi belakangan ini agaknya menyentil kita semua dan menyadarkan kita sejenak untuk mengevaluasi kondisi transportasi di negara kita. Jakarta, ibukota negara, yang katanya sudah mengarah menjadi kota Megapolitan, nyatanya tidak dilengkapi dengan penaataan transportasi umum yang baik. Tidak ada pihak yang memiliki tupoksi untuk bertanggung jawab atas insiden meresahkan yang terjadi beberapa hari yang lalu. Polisi? Bukan tugasnya mengamati orang-orang dengan niat tidak baik di angkutan umum karena tupoksinya adalah mengatur lalu lintas. Dinas perhubungan apalagi. Jelas tidak ada dalam agenda mereka untuk menyeleksi supir angkutan umum yang berhati baik dan tidak baik karena tupoksinya adalah berkaitan dengan penyediaan angkutan umum bagi masyarakat. Lantas apakah salah penumpangnya yang mengenakan rok mini di angkutan umum? Mungkin memang berisiko namun tidak bijaksana juga jika menyalahkan penumpang yang mengenakan rok mini. Mana kita tahu dia memiliki tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya berpakaian demikian atau bagaimana. Toh penumpang yang berpakaian 'sopan dan tidak aneh-aneh'pun tidak luput dari kejahatan di angkutan umum.
Dalam talk show bersama pengamat kebijakan publik di acara 8-11 show tadi pagi, sang narasumber mengatakan bahwa Indonesia, khususnya Jakarta sebagai ibukota negara, perlu mengembangkan sistem transportasi berbasis rel. Konsep bus trans jakarta pada awalnya adalah baik untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Namun seiring berkembangnya waktu dan kepentingan politik, pemerintah nampaknya semakin tidak serius di dalam mengelola bus trans jakarta. Lowongnya jalur busway, sehingga bisa diserobot oleh mobil atau kendaraan pribadi lainnya menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menyediakan angkutan umum yang cukup masih kurang. Sistem tiket yang awalnya dari kartu menjadi kertas biasa juga perlu dipertanyakan. Ketika ada kebijakan untuk pengadaan alat transportasi umum bermuatan besar seperti busway, seharusnya seiring dengan pembatasan izin untuk angkutan umum yang kecil-kecil (angkot dan bus kecil), sehingga volume kendaraan di jalan dapat dikurangi tanpa mengurangi jumlah tenaga kerja (karena supir angkot dan bus kecil bisa saja dialih profesikan menjadi supir busway). Pembangunan KRL pun seharusnya bisa lebih serius. Peningkatan kualitas gerbong, pemeliharaan rel kereta, pembangunan jalur-jalur baru, sebenarnya akan jauh lebih efektif secara ekonomis maupun penggunaan lahan untuk menjawab masalah transportasi yang ada di Indonesia, khususnya kota besar seperti Jakarta.
Di lain daerah, ada Kalimantan, Sulawesi, Ambon, dan Papua yang belum tersentuh pemerataan jalur transportasi. Luasnya sungai di Kalimantan belum seiring dengan adanya kapal-kapal berteknologi canggih untuk mngantar penumpang menyeberang sungai. Luasnya hutan papua belum seiring dengan pembangunan jalan yang menolong akses ke semua wilayah. Kualitas jalan yang ada belum seiring dengan perbaikan kondisi jalan yang masih terjal dan sulit ditempuh dengan kendaraan biasa. Kuantitas alat tranportasi di pulau-pulau luar Jawapun masih bisa 'dihitung dengan jari'.
Jadi mana yang haus dilakukan terlebih dahulu? Membenahi keruwetan transportasi ibu kota atau memperhatikan keberadaan transportasi yang minim di wilayah Indonesia tengah dan timur? Saya juga tidak tahu harus menjawab seperti apa. Yang jelas, harapan saya, dan mungkin menjadi harapan kita semua, bahwa pengadaan proyek transportasi di tingkat pusat atau daerah sebaiknya tidak dicampuri dengan kepentingan politik dari golongan-golongan yang tidak bertanggung jawab, sehingga pengadaan proyek transportasi (yang membutuhkan dana besar itu) tidak bertahan 2-3 tahun saja karena kualitas bahan baku yang buruk atau terkesan asal bangun saja tanpa perencanaan yang matan dan evaluasi yang berkala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H