Pada tahun 1976, tepatnya 17 Juli, Timor Portugis menjadi salah satu Provinsi dari Negara Republik Indonesia dengan agresifitas militer. Tindakan itupun di akhiri dengan DPR-RI mengesahkan UU No.7/76 tentang integrasi Timor Leste ke Indonesia sebagai Provinsi ke 27.
Sebelum kedatangan Indonesia, Timor Portugis sudah mempersiapkan diri menjadi sebuah negara dengan konsep-konsep dari Tiga partai besar seperti Apodete (Associacao Popular Democratica de Timor Pro Referendo), Fretelin (Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independente) dan UDT (Uni Demokrasi Timor).
Perbedaan Konsep ketiga Partai Itupun berakhir pada pertikaian dan perang sipil yang berdampak pada kekacawan di Ibu Kota. Karena pusat ibu kota telah dikuasai oleh Fretelin maka pada tanggal 28 November 1975, secara sepihak Partai yang berhaluan marxis inipun mendeklarasikan Kemerdekaan Timor Portugis menjadi sebuah Negara yang berdaulat.
Tidak tinggal diam dengan langkah yang sudah diambil oleh Fretelin, UDT,Apodeti dan KOTA (Klibur Oan Timor Asuwain) pun melakukan Deklarasi integrasi dengan Indonesia di Balibo dua hari setelah deklarasi Fretelin. Tindakan inipun dikenal dengan nama Deklarasi Balibo. Sikap itupun melegalkan invasi Indonesia pada tanggal 7 Desember terhadap rakyat Timor Leste.
Integrasi Indonesia dengan rakyat Timor-Timur selama 24 tahun itupun tidak memberikan kepuasan dan kedamain untuk semua rakyat. Dengan segala perlawanan kelompok prokemerdekaan di Timor-Timur, kekacawan dalam negeri pasca reformasi dan desakan Luar Negeri maka pada akhir Januari 1999, Presiden Habibie memberikan dua pilihan untuk rakyat Timor-timur yaitu Kemerdekaan atau Otonomi.
Pada awal bulan September 1999 tepatnya tanggal 4, dari hasil pengumuman jajak pendapat, 75,5% rKakyat memilih kemerdekaan sedangkan 25,5% memilih Otonomi Khusus. Hasil jajak pendapat ini pun mengulangi perang sipil yang terjadi pada tahun 1975. Dapat diidentifikasi bahwa yang memilih Pro Kemerdekanan cenderung melarikan diri ke Hutan untuk menyelamatkan diri dari para milisi bentukan dr militer sebaliknya yang sangat mencintai Indonesia mengungsi Ke Timor Barat.
Tempat penampungan Pengungsi terbesar setelah Kabupaten Belu adalah Kabupaten Kupang. Terdapat Tiga Penampungan besar yaitu, Camp Tuapukan, Noelbaki dan Naibonat di kabupaten Kupang. Pasca Repatriasi, Relokasi dan Reintegrasi dengan segala regulasi yang berlakukan dengan terus bergantinya Rezim tidak sedikit pun mengatasi persoalan mendasar yang terjadi di Kamp Pengungsian. Dan bahkan camp pengungsian yang disebutkan di atas menjadi sebuah pemukiman kuno yang menjadi hiasan di tengah-tengah kota Kabupaten dan Kota madya Provinsi NTT.
Mencintai tetapi menimbulkan luka. Mungkin sepengal kalimat ini tepat menggambarkan sikap eNasionalisme yang disalahartikan oleh rezim yang berkuasa hari ini. setiap pilihan yang diambil oleh warga negara Eks Timtim yang meninggalkan segala harta kekayaan, Keluarga, sanak saudaranya dan bahkan membunuh Saudaranya sendiri untuk Merah Putih, harus menerima pil pahit dari perlakukan rezim yang menelantarkan mereka hidup 21 tahun di camp-camp pengungsian dan resetlemt yang tidak ada lahan garapan dan kejelasan status tanah.
Salah atau Kamp yang sangat memperihatinkan adalah Camp Tuapukan. Masih ada sekitar 10% Keluarga masih menghuni rumah-rumah yang dibangun pada tahun 1999 untuk penanmpungan pengungsi.
Rumah-rumah itupun kondisinya sangat tidak layak untuk dihuni karena sudah miring dan mampir rubuh. 2% kk memiliki rumah dengan beratapkan seng, sedangkan 88% KK memiliki kondisi rumah beratapkan daun dan rumput. Hal ini juga diperparah dengan masih banyak rumah yang dihuni oleh dua dan tiga KK.