Lihat ke Halaman Asli

Menyeberang Jalan...

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini, Rabu 28 januari, berbagai elemen ikut memperingati 100 hari pemerintah SBY-Boediono. Berbagai cara dilakukan, mulai dari diskusi hingga bakar foto di jalan. Entah mana tindakan yang benar, bakar foto pun belum tentu dapat dikatakan tindakan anarkis menurut teman, karena tindakan tersebut boleh jadi puncak dari kekecewaan, atau bahkan pesanan..

"Entahlah !" jawabku.. Tapi hal yang pasti 100 hari pertama ini menurut teman itu lagi merupakan awal bagaimana bangsa ini akan di bawa hingga 5 tahun mendatang, oleh pemimpin yang sekarang, pemimpin yang mengklaim dipilih oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Terlepas dari kepiawaian mengelola negara agar rakyat menjadi lebih sejahtera ataupun kepiawaian mengelola pencitraan pada pemilih.. Yang jelas menurut dia bangsa ini tengah haus akan kehadiran seorang pahlawan..

Kendati demikian, penekanan diberikan 100 hari bukan merupakan jalan pintas, tapi hanya sebuah langkah awal untuk menentukan beribu langkah selanjutnya. "100 hari pertama ini seperti menyeberang jalan yang ramai, kalau ingin selamat harus mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Bukan melompati pagar pembatas jalan, atau menyalip diantara lalu lalang kendaraan yang melaju kencang. Bisa cepat sampai, tetapi maut didepan mata,"tuturnya.

Dalam pikiranku yang tak pernah aku ungkapkan kepadanya terlintas satu kalimat. "Dasar pendukung Pemerintah, baik buruk tetap ada alasan pembelaan,"batinku. Tapi maklum, karena dia mentraktirku segelas kopi hangat di siang hari yang diguyur hujan lebat ini, kata itu tak aku ungkapkan. Sekali lagi aku hanya berpikir tentang adat kesopanan yang tak beralasan.

Namun, semua ceritanya membuatku teringat sebuah peristiwa. Kala itu, sore hari jalan lagi padat-padatnya karena jarum jam menunjukkan waktu pekerja pulang dari kantor. Di satu perempatan di jalan Cendrawasih Makassar, lampu merah menyala dan waktu penunjuk pertukaran warna lampu tinggal tersisi 4 detik lagi.

Empat orang bule , dua pria dan dua wanita terlihat sedang bersiap untuk menyeberang jalan di Zebra Cross.. Tetapi, melihat waktu penunjuk empat orang itu seakan di komando secara serempak menghentikan langkahnya. Dan menunggu hingga lampu merah selanjutnya.

Kejadian singkat itu mungkin terlepas dari pantauan beberapa orang, bahkan mungkin olehku, jika pegendara sepeda motor di sampingku dengan suara lumayan keras berkata pada temannya yang juga mengendarai sepeda motor. "Balanda (bule) apa dia tunggu, kenapa tidak menyeberangki,"ujarnya.

Karena menarik perhatianku, aku pinggirkan sepeda motor yang kukendarai dan melihat tingkah laku empat orang bule itu yang baru meyeberang setelah tanda lampu merah tanda kendaraan harus berhenti kemudian menyala. "Itu balandayya (bule) kayak tong naik motor. Berhenti jalan karena lampu merah,"kata seorang tukang becak yang mangkal di perempatan jalan tersebut, sambil tertawa bersama temannya.

Hhhhhhhh... aku lantas berpikir, kita mungkin selama ini dari semua lapisan terbiasa dan menginginkan cara pintas yang lebih mudah. Tapi yang pasti aku sendiri berharap banyak dari 100 hari yang telah lewat, walaupun aku tak memilih pasangan yang memimpin saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline