Hampir tiap hari, sosok tubuh tinggi jangkung dengan rambut agak panjang, dengan roman muka selalu tersenyum itu, hilir mudik di depan tempat tinggalku. Saban waktu, tak perduli pagi, siang atau sore rumah tetangga di sambangi. Cari tahu dari tanya-tanya tetangga, namanya Herman (nama samaran),27, seorang colector dari sebuah koperasi simpan pinjam. Entah apakah koperasi tersebut berbadan hukum dan memiliki NPWP atau tidak. Aku juga malas mempertanyakan hal tersebut.
"Murahki pinjam di koperasi itu. Setiap hari hanya bayar 10.000 rupiah untuk pinjaman Rp100.000, selama 15 hari,"kata tetangga dengan mimik lugu. Sehari-harinya dia berprofesi sebagai seorang tukang becak yang kebetulan in the kost di dekat tempat tinggalku. Mendengar jawaban itu, hatiku langsung tergelitik dan membatin : murah dari mana angka-angka itu. Tetapi daripada ke bank, lebih rumit padahal kebutuhan uangnya mendadak, pikirku kemudian.
Weleh, hingga jelang tidur sekalipun aku masih tergelitki dengan kata murah bagi koperasi simpan pinjam yang menggunakan kata "koperasi" namun menetapkan bunga hingg 50%, hanya dalam jangka waktu 15 hari.
Kondisi tersebut cukup mengganggu, padahal beberapa waktu yang lalu saya sempat berbincang dengan seorang yang selama hidupnya sebagian besar dihabiskannya untuk mengurusi koperasi. Dia menuturkan, di Sulawesi Selatan terdapat paling tidak 7000 unit koperasi, walaupun yang beroperasi secara baik hanya sekitar 3.500-an unit.. Koperasi-koperasi tersebut cukup berperan dalam mengembangkan ekonomi daerah.
Koperasi menurutnya merupakan sendi utama di zaman-zaman lampau , yang membentuk pondasi perekonomian (atas peran Bapak Koperasi, Hatta). Koperasi dalam perjalanannya kemudian berevolusi dalam berbagai bentuk, koperasi unit desa yang lebih dikenal dengan nama KUD yang menyalurkan kredit usaha tani (KUT), koperasi pegawai negeri sipil (KPNS), hingga waktu saya masih SD familiar terkenal koperasi sekolah, dimana setiap siswa diwajibkan untuk menabung.
Koperasi masih menurut dia sangat membantu masyarakat terutama pelaku usaha kecil seperti pedagang asongan, hingga petani untuk mendapatkan bibit tanaman, pupuk, hingga kebutuhan sehari-hari selama musim panen belum tiba. Kendati sejak ekspansi perbankan hingga kepedesaan mengganggu kinerja koperasi. "Koperasi boleh dikata roh perekonomian masyarakat,"ujarnya dengan semangat berapi-api.
Entah karena semangat apa pula yang membuat koperasi di zaman ini berevolusi menjadi praktek koperasi simpan pinjam dengan pengembalian pinjaman mencapai 150% dari pokok. "Selama dapat membantu masyarakat yang membutuhkan, dan masyarakat tidak merasa terbebani, mengapa tidak,"ujarnya saat saya bertemu kemudian, setelah praktek koperasi simpan-pinjam tersebut menggelitikku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H