Lihat ke Halaman Asli

Apel

Diperbarui: 27 Agustus 2015   19:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tubuh itu terbalut kilatan cahaya dari mesin penangkap gambar. Tubuh idealnya didukung kaki yang jenjang, membuat ia dapat berpose sempurna dengan pakaian yang menutupi pahanya seperempat bagian. Wajahnya manis disorot lampu dari berbagai sudut, mengepak jelas wajah itu bukan wajah murni pribumi. Ayahnya berasal dari Swiss, sementara ibunya asli Bogor. Cita.


“Sekali lagi ya!” ucap fotografer. Cita mengangguk.


Segera fotografer itu mengacungkan jempol, pertanda semuanya berakhir. Cita bergegas mengemasi barang-barang pribadinya dan pergi ke toilet wanita itu.


Ia berdiri di hadapan bias wajahnya itu. Kaca itu begitu sempurna menghadapkan Cita pada pandangannya. “Hay!!” sapa Cita pada sosok di dalam kaca itu.
“Akhirnya kita bisa bertemu lagi, ya?” kaca itu tetap saja tak bereaksi.

Sosok di dalam kaca itu selalu mengikuti apapun yang Cita katakan dan perbuat. Tak bereaksi dan semuanya sepi. Ia tatapi kaca itu sembari meratap dengan mata kosong. Selalu saja begitu, sendirian dan sendirian. Hanya kaca ini yang menemaninya setiap ia selesai berpose. Hingga dentuman itu terdengar.
Dummmm!!

Cahaya itu mencuat begitu dalam memantul pada kaca tepat ke mata Cita. Semuanya bergetar, reruntuhan debu menghiasi ruangan kecil itu. Cita memandang ke sekitar ruangan itu, dilihatnya tembok beton itu retak dengan halus. Hingga suara itu kembali terdengar, bahkan lebih keras sebelumnya.
Duuummmm!!!! Krakkkkkk....
Cita terhempas condong pada kaca itu dan memeluknya. Ledakan itu menyapu seluruh ruangan. Tubuh Cita berubah menjadi sandaran atap itu, hingga seluruh ruangan itu runtuh. Cita merasakan gelap dengan bau anyir yang menggenang.


***


Mataku terbuka dengan perlahan, tubuhku merasakan sakit menahan reruntuhan ini. Kutatap sahabatku pecah berkeping, aku sendirian lagi. Aku sesak menghirup debu dari reruntuhan ini. Aku pikir, sebentar lagi penyakit asmaku akan segera kambuh. Aku bangun melawan tulang-tulangku yang terasa bergeser ini. Kulontarkan reruntuhan ini mengaduh, mataku berpijar.


Semuanya runtuh. Di sepanjang jalan ini kulalui, kutatap semuanya runtuh. Kota ini sangat sunyi, api dan asap mengepul. Kudapati rambut itu terurai dibalik reruntuhan. Kuangkat reruntuhan itu dan kutemui wajahnya tak lagi berupa. Tuhan, tubuhku bergetar. Yang kulihat semuanya kosong, tak ada yang dapat kutanyai tentang apa yang terjadi.


Tangisku mengalir lagi, lengan ini kurasa nyeri. Kutengok ujung tangan ini berhias cairan merah kental dengan bau khas. Burung-burung hitam itu dengan anggunnya mematuk bagian tubuh seorang anak di tepi jalan itu. Tidak, anak itu kejang memberontak, ia masih hidup. Bergegas aku berlari dengan setengah lunglai, aku kembali jatuh tersandung tubuh berambut putih itu. Tanganku tinggal sejengkal lagi meraih tangan anak itu. Anak itu terdiam molek, aku salah. Ia bergerak bukan karena masih hidup tapi, ia sekarat.


Tanganku menyapa keringat deras ini. Tuhan, 'aku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?'
Aku kembali tertutup kalut. Kuhirup udara penuh asap ini, aku butuh air. Batuk ini sudah tidak main-main lagi, leherku tersayat ketika batuk karena terlalu kering. Air, aku melihatnya dengan kilauan itu di tempat bocah molek itu tergeletak. Tanganku merangkak meraihnya. Dingin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline