Lihat ke Halaman Asli

Teater Itu, Mengajarkan Banyak Hal

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari ini satu lagi pelajaran berharga kudapatkan. Kita tidak janganlah terpola dengan sistem dan teori, dimana teori dan sistem harus dikerjakan secara kaku. Tapi, berimprovisasilah!

Pelajaran ini tidak kuperoleh dengan duduk di pojok kamar –tanpa suara –hanya terhanyut dalam pikiranku. Bukan juga dari pemandangan alam yang  indah, lalu merenungkan sesuatu. Pelajaran ini kuraup dari kunjungan kami berempat (Aku, Kak Try, Rinto dan Johan) ke rumah Kerensa. Kerensa memberikan pengalaman berharga hari ini. Tepatnya, dia menjadi saluran “kebermanfaatan” itu hari ini.

Kerensa adalah teman kak Try manullang yang akhirnya diperkenalkan ke pada kami. Dia seorang seniman dari Australia. Dia telah mementaskan beberapa teater di dalam maupun di luar negeri. Aku pernah menonton pertunjukannya. Sebagai “penikmat baru” teater, aku sangat menikmatinya.

Mulanya, Johan cerita ke pada kak Try  bahwa dia kesulitan dalam mengajarkan teater di sekolahnya. Lalu Kak Try merekomendasikan untuk bertemu dengan Kerensa. Perjalanan kami pun di mulai dengan menghabiskan beberapa kalori untuk mendaki bukit demi sampai ke rumah Kerensa. Dengan rintik hujan dan tatapan indahnya pemandangan daerah Dago ke pada kami, sampailah kami ke tujuan –Rumah Kerensa.

Setelah menikmati keramahan sambutan Kerensa, Johan segera bercerita kepada Kerensa tentang keluhannya dalam mengajarkan teater di Sekolah. Langsung saja ditanggapi oleh Kerensa bahwa dia lebih suka langsung praktek. Oleh karna itu Kerensa mengajak kami untuk melakukan permainan “cermin.” Permainan ini dilakukan oleh dua orang dimana satu orang menirukan gerakan dari orang lain. Mulanya kami berdua dengan Rinto tertawa saat memainkannya. Kami belum melihat arti yang terkandung dari permainan ini. Tapi perlahan kami bisa melihat bahwa permainan ini mengajarkan kita harus bisa “menyelaraskan diri” dengan gerakan teman. “Itulah dasarnya teater,” Kerensa mengomentari permainan ini. Dalam teater, gerakan-gerakan, mimik dan setiap tindakan kita harus selaras satu sama lain.

Akhirnya, kami mulai bisa “menyelaraskan diri” dengan teman. Kami mulai menyadari bahwa gerakan yang kita buat haruslah satu gerakan yang utuh dari gabungan gerakan-gerakan setiap individu. Setelah itu, Kerensa mengajak kami melakukan improvisasi dengan permainan yang sama. Kali ini yang satu tidak hanya mengikuti gerakan yang lain, tapi kedua-duanya membangun sebuah gerakan yang utuh, tanpa saling bicara. Jadi kami harus saling “menyelaraskan diri” dengan yang lain. Kalau yang pertama kami diajarkan bahwa yang satu saja harus menyelaraskan diri dengan yang lain, kali ini kami harus saling “menyelelaskan diri” dengan yang lain. Gerakan yang kami bangun harus gerakan yang utuh.

Ini tidak semudah yang dibayangkan. “Kalian masih saling berkompetisi,” kata Kerensa. Akhirnya aku menyadari bahwa untuk membentuk gerakan yang utuh kami tidak boleh berkompetisi, kami harus melakukannya bersama. Harus ada kerelaan untuk memberi diri dipimpin oleh gerakan teman dan inisiatif memimpin gerakan. Satu lagi pelajaran yang kudapatkan dari belajar teater ini. Bahwa dalam teamwork, harus ada kerelaan untuk memberi diri dipimpin dan berinisiatif untuk memimpin.

Karena dari latar pendidikan aku langsung menarik pelajaran ini dalam ruang lingkup kelas. Kita harus mendorong siswa untuk mampu bekarja sama dalam kelas dengan mengasah kerelaan memberi diri untuk diajari dan berinisiatif untuk mengajari –BUKAN BERKOMPETISI.

Lalu Kerensa mengajak kami melakukan improvisasi dengan suatu benda. Kami harus bisa membuat benda ini menjadi sesuatu hal yang lain. Dia ambil rebana, lalu mulailah diajaknya kami berimprovisasi dengan rebana ini. Kerensa melakukan gerakan seolah-olah rebana ini barbel lalu tiba-tiba ia memberikan rebana ini kepada rinto yang langsung disambut rinto dengan gerakan seolah-olah rebana ini adalah tempat menulis. Rinto kemudian menyodorkannya kepadaku, dengan spontan (aku sendiri bingung dari mana datang ide itu), aku melakukan gerakan seolah-olah aku sedang bercermin. Juga Johan dengan spontan membayangkan rebana ini sebagai piring. Kak Try yang tadinya asyik mengambil video dan foto, akhirnya terhanyut juga dalam sebuah improvisasi.

Aktivitas ini mengajarkan kami untuk melakukan improvisasi. Jangan takut berimprovisasi, itu intinya. “Kita jangan terpaku pada naskah, script ataupun teori,” Jelas Kerensa seusai aktivitas ini. “Ini pelajaran penting,” pikirku. Tapi lagi-lagi aku terbawa dalam suasana pembelajaran di kelas. Mestinya guru tidak terpaku pada silabus, buku ataupun tetek bengeknya dalam “mendesain” pembelajaran di kelas. Harus berani berimprovisasi.

Ini hanya beberapa aktivitas dari yang kami pelajari tadi, masih ada aktivitas lain. Dan ada pembelajaran lain. Bahkan masih banyak lagi yang belum kami pelajari. Tapi kami harus berhenti disini, dimana ruang waktu telah memanggil kami untuk aktivitas yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline