Lihat ke Halaman Asli

Adek Dwi Oktaviantina

Seorang abdi negara yang menyalurkan hobi menulis, bercerita, dan berkawan dengan seluruh lapisan manusia

Kasus dr. Qory, Susahnya Seorang Penyintas Kekerasan untuk Bertahan

Diperbarui: 22 November 2023   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ramainya kasus dr. Qory adalah bukti bahwa kasus KDRT itu tidak semudah dan sesimpel cocote netizen. Kabar terakhir, dokter Qory ingin mencabut laporan suaminya. Semua netizen merasa kecewa dan menghujat. Berseloroh semau mereka karena sosial media memang lebih mudah digunakan oleh orang yang hanya menilai dari luar. 

Dokter Qory seperti halnya ratusan dan ribuan wanita di luar sana yang mengalami kekerasan dalam hubungan pernikahan. Tidak mudah untuk keluar dari kandang singa sebelum secara mental dokter Qory benar benar bebas dari kungkungan kandang singa yang ada di kepalanya. 

Seperti yang terjadi pada Lesti. Dokter Qory mengalami dilema luar biasa dalam menentukan arah hidupnya ke depan setelah kasus itu menguak. Secara mental, dia belum siap menghadapi kenyataan jika keluarganya harus berpisah. Bagaimana anak dan bagaimana dirinya tan

pa suami. Itu yang dipikirkannya walaupun dia mengalami trauma dan ketakutan tetapi state of minds nya terkunci sehingga dia tidak mampu mengambil keputusan untuk mandiri. 

Suaminya telah menyakiti sejak awal pernikahan dan dengan usia pernikahan yang sebegitu lama. Dokter Qory selama ini hidup dalam ketakutan dalam kandang sinyalnya yaitu pikirannya tanpa ada keinginan untuk melawan karena dia berpikir jika kondisi di kandang singa lebih pasti daripada dia ada di kandang luar yang meski tidak ada singanya bisa jadi ada musuh lain yang lebih besar daripada di dalam kandang singa. 

Ketakutan itu berjalan selama tahun tahun yang dihabiskan oleh dokter Qory. Akal sehatnya sudah tidak bisa menguasai karena perasaan syndrome Stockholm muncul dan menimbulkan kecintaan dan simpati meskipun berulang kali disakiti. 

Untuk memutuskan rantai kekerasan dokter Qory, perlu kerja sama berbagai pihak. Yang pertama, perlindungan  istri dan anak harus memberikan pendampingan dan perasaan nyaman serta dukungan moral. Selain itu, psikiater dan psikolog untuk mengembalikan posisi mental ke arah benar. Dokter Qory harus menceritakan semua dan menyembuhkan luka trauma.Tanpa dihakimi atas keputusan salah yang diambil pada masa lalu. Dokter Qory sangat sensitif dalam hal ini, jika kondisi di luaran sana tidak nyaman, dia akan mudah untuk balik ke   suami. 

Sudah terlalu lama, ucapan dan ujaran manipulatif suaminya masuk ke dalam otak dokter Qory dan mencuci otak secara perlahan. Sebuah paradigma baru dimunculkan agar apa yang dilakukan suaminya adalah hal benar tanpa adanya satu pun kritik yang boleh dilontarkan. 

Hal inilah yang menyebabkan kerusakan otak karena kekerasan itu semakin parah karena pelaku dan korban seakan memformalkan sebuah tidak akan itu sebagai akibat kesalahan korban yang tidak menurut dan patuh. 

Komunikasi yang intens sangat penting untuk meningkatkan rasa percaya diri dokter Qory dan menumbuhkan self esteem-nya. Dokter Qory butuh komunitas seperti komunitas kompasiana ini sebagai salah satu upaya pemulihan melalui terapi menulis. Ini pun menjadi salah satu cara saya untuk menyembuhkan diri dari trauma. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline