Lihat ke Halaman Asli

Adek Dwi Oktaviantina

Seorang abdi negara yang menyalurkan hobi menulis, bercerita, dan berkawan dengan seluruh lapisan manusia

Frugal Living, Gaya Hidup Pro-Kere yang Kujalani secara Ugal-Ugalan

Diperbarui: 29 Oktober 2023   20:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Sejak masa kuliah, gaya hidup ugal-ugalan ini kujalani karena menipisnya uang saku yang dikirim dari rumah. Segala hal yang bisa dipres harus dipres senyata-nyatanya. Jatah makan hanya sekali di pagi hari. Energinya disimpan lambat-lambat karena baru bisa makan lagi keesokan paginya. Demikian pula, buku adalah kemewahan sehingga perpustakaan kampus merupakan simbol kekayaan. Tempat untuk nongkrong karena satu satunya tempat yang tidak membutuhkan biaya tambahan. 

Surabaya adalah kota yang panas. Demi kesehatan dan penghematan energi, saya tidak minum es teh. Saya ke warung membeli teh bungkus yang seharga 500 rupiah saat itu-berisi teh panas. Teori Pro-Kere adalah minumlah sesuatu yang panas di hari yang panas agar kamu tidak kehausan dan minuman tahan lama. Kamu akan menyesal secara perlahan hingga malam hari. Itu cukup untuk mengenyangkan perut dan memberi halusinasi tentang hidup layak. 

Gizi di pagi hari tercukupi dengan nasi pecel seribuan dengan dua porsi. Dengan harapan kenyang seperti itu, mahasiswi seperti saya berharap kertas koran perpustakaan menjadi hidangan crepes. Hari paling membahagiakan tentunya saat pulang ke rumah karena saatnya perbaikan gizi. 

Suatu saat, ibuku melihat tubuhku sangatlah kurus ceking. Sedih sekali, katanya saat melihat ukuranku yang semakin kurus. Sayangnya, sekarang ini aku menderita revenge syndrome alias sindrom balas dendam yang membuatku memakan segala ada dan segala yang bisa kubeli. Kepada penganut Frugal Living yang terlanjur hidup ugal-ugalan, seperti keluarga Hagemaru Hageda, cukupkanlah dan jangan teruskanlah. 

Saya menikah dengan suami yang pro frugal living juga. Ada kalanya lebih ekstrim dari saya. Suami saya sangat pandai dalam menawar, menjual beli barang bekas dan sampah, dan hemat energi. Awalnya, saya cukup kaget. Akhirnya, sudah terbiasa dan semakin menjadi-jadi. Kami suka berburu harga termurah di pasar tradisional, menawar hingga harga terendah, dan kami punya hobi mengikuti jalan sehat gratis demi mendapatkan kaos gratisan dan doorprize. Tidak terhitung kaos berlabel instansi pemerintah, perusahaan, dan partai di lemarinya. 

Tentu kami tidak menyimpan sendiri. Ada kalanya kami juga berbagi ke orang lain dan saudara. Keberkahan hidup tidak terletak dari banyaknya konsumsi yang kita habiskan. Kadang, kita menghabiskan sumber daya terlalu banyak dan bisa jadi itu adalah hak generasi penerus kita. 

Tanggung jawab kita sebagai manusia bukanlah saat kita bisa membeli atau menghabiskan sebuah barang. Namun, saat kita bisa menggunakan sumber daya alam dan kehidupan ini secara bijak dan memastikan kita mewariskan hal yang sama ke anak cucu kita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline