Bagaimana Aku Esok, Jika Mama Tiada
Aku menatap layar ponsel yang berkedip-kedip. Nomor tak dikenal. Biasanya aku enggan mengangkat panggilan dari nomor asing, tapi entah mengapa kali ini tanganku bergerak sendiri menekan tombol hijau.
"Halo, dengan Nara?" suara di seberang terdengar formal.
"Ya, benar. Ini siapa?"
"Saya dari Rumah Sakit Harapan Bunda. Ada yang perlu kami sampaikan mengenai Nyonya Amelia..."
Duniaku seketika berhenti berputar. Mama. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali berbicara dengannya. Tiga bulan? Empat bulan? Atau lebih?
Sejak memutuskan pindah ke Jepang untuk mengejar karir sebagai peneliti sel punca, komunikasiku dengan Mama hanya sebatas chat singkat di WhatsApp. Itupun jarang kubalas. Terlalu sibuk, selalu itu alasanku. Padahal hanya butuh beberapa menit untuk mengetik "Mama apa kabar?" atau "Mama sudah makan?"
"...stroke mendadak. Kondisinya kritis. Sebaiknya Anda segera ke sini."
Tanganku gemetar memegang ponsel. Keringat dingin mengucur di tengkuk. Aku bahkan tak mendengar sebagian besar penjelasan perawat itu. Yang kutahu, aku harus pulang. Sekarang juga.
***
"Kenapa kamu nggak bilang kalau sakit, Ma?" bisikku lirih sambil menggenggam tangan Mama yang terbaring lemah. Berbagai selang dan kabel menempel di tubuhnya. Monitor di samping tempat tidur menunjukkan detak jantung yang lemah tapi stabil.