Lihat ke Halaman Asli

Kim Ikarose

Mahasiswa

Apt

Diperbarui: 16 November 2024   06:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Aku tak pernah benar-benar paham mengapa mereka menyebutnya "APT." Mungkin singkatan dari Apartment, tempat yang kutinggali ini. Bangunan dengan dinding beton berlumut, jendela yang retak di beberapa sudut, dan pipa-pipa berkarat yang sering bocor. Setiap kali aku bertanya pada penghuni lama, mereka hanya menunjukkan senyum tak bisa ku definsikan, lalu mengalihkan pembicaraan ke topik lain yang tak ada hubungannya. Semacam rahasia usang yang mereka biarkan terselip dalam dinding-dinding bangunan ini.

Setahun yang lalu, aku memutuskan pindah ke sini dengan harapan menemukan tempat yang lebih tenang dan jauh dari hiruk pikuk kota. Apartemen ini jauh dari kata nyaman, tapi aku menyukainya justru karena itu. Seperti ada aura kuno dan misterius yang menggantung di udara setiap aku melangkahkan kaki ke lorong panjangnya yang selalu temaram.

Yang menarik adalah penghuni-penghuni lain di APT. Kami jarang bertegur sapa, tapi entah kenapa aku tahu banyak tentang mereka. Di lantai dua, ada Pak Darma, pensiunan pegawai yang tiap sore selalu duduk di balkon kecil sambil menatap langit dengan tatapan kosong. Di lantai tiga, ada Ibu Ratna, janda beranak satu yang sering terbangun tengah malam karena putrinya, Lala, kerap berbicara sendiri.

Lalu, ada Deni di sebelah kamarku. Dia tipe pria pendiam dengan selera musik yang eksentrik. Selalu ada musik klasik mengalun lembut dari balik dinding kamarku saat dini hari. Aku pernah sekali mengetuk pintunya untuk berkenalan, tapi yang kudapat hanya tatapan dingin dan senyum kecil yang seolah mengundangku untuk tidak mengganggunya lagi.

Namun, ada satu hal yang membuatku gelisah belakangan ini: suara langkah kaki. Setiap malam, ketika hampir semua penghuni terlelap, aku sering mendengar derap langkah seseorang berjalan mondar-mandir di lorong depan kamarku. Langkah-langkah itu perlahan namun konstan, berputar-putar seperti menunggu sesuatu. Awalnya kupikir itu hanya imajinasiku, tapi semakin lama semakin jelas. Tidak pernah ada suara pintu terbuka atau tertutup, hanya derap langkah yang mengalun lalu menghilang seketika.

Pada suatu malam, rasa penasaran menguasai pikiranku. Aku memutuskan untuk mengintip dari lubang pintu saat suara langkah itu muncul lagi. Aku menahan napas, jantungku berdebar kencang. Perlahan, kuintip keluar. Namun yang kulihat hanyalah lorong yang gelap, kosong, tanpa bayangan seorang pun. Tapi aku tahu suara itu nyata; langkah kaki itu jelas terdengar hanya beberapa meter dariku.

Semakin lama aku tinggal di sini, semakin banyak kejanggalan yang kurasakan. Suara-suara bisikan di malam hari, bayangan yang sesekali kulihat melintasi cermin kamar mandi, dan mimpi buruk yang entah kenapa menjadi semakin intens. Kadang-kadang, aku melihat sesuatu dari balik tirai jendela kamarku. Sesuatu yang seolah menatapku, mengawasi setiap gerak-gerikku. Meskipun saat kubuka tirai itu, hanya ada kegelapan malam.

Keesokan paginya, aku memutuskan untuk bertanya pada Pak Darma. Di antara semua penghuni di sini, dialah yang paling ramah meskipun tetap terkesan misterius. Aku menemukan Pak Darma duduk di balkon kecilnya, menghisap rokok kretek dengan tatapan yang sama, menatap langit seakan mencari jawaban dari sesuatu yang tak kasatmata.

"Pak Darma, pernahkah Bapak mendengar suara langkah kaki di lorong?" tanyaku tanpa basa-basi. Dia hanya tersenyum, tanpa menoleh sedikit pun.

"Suaranya seperti berputar-putar di lorong tengah malam, kan?" jawabnya lirih. Ada sedikit ketegangan dalam nada suaranya yang biasanya tenang.

Aku mengangguk, heran karena dia tahu persis apa yang kumaksud.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline