Pole dance awalnya punya stigma, kan? Bagi sebagian orang, selalu dikaitkan dengan hal-hal yang spicy. Jadi, waktu pertama kali aku bilang mau coba kelas pole dance, respons dari beberapa teman dan keluarga cukup beragam, dari tatapan kaget sampai senyum menggoda. Tapi, aku yakin ada yang lebih dalam dari sekadar stereotip itu. Jadi, berbekal rasa penasaran (dan sedikit gugup), aku mendaftar juga.
Hari pertama masuk studio, aku langsung sadar kalau ini lebih dari sekadar menari. Awalnya, aku hanya melihat para instruktur melayang dengan anggun di tiang, tapi begitu giliran aku? Ya Tuhan, aku cuma bisa tergantung sebentar sebelum tangan terasa pegal dan bahu mulai berontak. Ini bukan main-main! Pole dance butuh kekuatan, keseimbangan, dan, yang paling sulit menurutku, rasa percaya diri.
Setelah beberapa minggu berlatih, aku mulai merasakan kemajuan. Ada beberapa peristiwa kecil yang bikin aku speechles terhadap diri sendiri sekaligus proud kayak saat berhasil putar sempurna atau ketika bisa bertahan di tiang lebih dari sepuluh detik tanpa jatuh. Gerakan yang awalnya terlihat "erotis" itu ternyata jauh lebih elegan dan mengagumkan saat dijalani sendiri. Pole dance mengajarkanku untuk lebih menghargai tubuhku, bukan hanya bentuknya, tapi kekuatan dan kemampuannya.
Yang paling penting, aku belajar untuk berhenti peduli dengan pandangan orang lain. Setiap kali aku berhasil menguasai gerakan baru, rasanya kayak merobohkan satu demi satu dinding stigma. Sekarang, pole dance bagi aku bukan sekadar olahraga, tapi sebuah jati diri Membuatku semakin unik , bukan hanya di tubuh tapi juga dalam menghadapi pandangan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H