Lihat ke Halaman Asli

Apakah Anda Jomblo Ideologis

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1345728812438961689

[caption id="attachment_194705" align="aligncenter" width="550" caption="Ilustrasi, sumber: noveloke.com via http://2.bp.blogspot.com"][/caption] Anda Jomblo? Belum juga menemukan pasangan yang pas? Atau memang anda berniat jomblo seumur hidup? Tidak perlu khawatir, jomblo tidak jomblo hanya label yang diberikan manusia. Jika anda cukup berbesar hati, semestinyalah anda bangga dengan status Jomblo tersebut karena salah satu pendiri republik ini, Tan Malaka adalah Jomblo sejati sampai akhir hayatnya. Perkara Jomblo ini, beberapa hari terakhir memanas. Di Timeline Twitter saya banyak sekali orang yang saya follow atau follower saya melakukan tweet dengan kata-kata Jomblo. Bahkan tidak sembarang Jomblo, ada Jomblo Ideologis namanya, salah satu jenis Jomblo tingkat tinggi saya rasa. Coba mari kita tilik lebih jauh apa Jomblo Ideologis tersebut. Menurut pengalaman saya yang teramat pendek, Jomblo Ideologis terdiri dari dua jenis. Satu jenis adalah menjomblo secara ideologi. Artinya ideologi yang dianutnya memungkinkannya menjomblo. Hal ini tidak dalam artian tanpa pasangan. Mungkin ideologi yang diusungnya tersebut terlalu berat dan jauh tinggi sehingga ia harus sendiri dengan ideologinya tersebut. Saya rasa jomblo ideologis seperti ini mungkin tidak ada. Ideologi, seberat apa pun pasti ada penyebar dan pengikutnya. Nazi contohnya, menurut saya ideologi yang sangat berat karena ultranasionalisnya sangat tinggi. Akan tetapi kecakapan dan kelihaian Hitler membius banyak rakyat Jerman untuk tunduk dengan ideologi ini. Demikian juga Nasakom yang diusung Soekarno. Secara akal sehat, Nasionalis, Agama, dan Komunis itu sulit untuk bersatu. Pertentangan besar terdapat pada agama yang menegaskan kehadiran Ilahi dengan Komunis yang menganggap Tuhan isu sejenis wujud yang kosong. Ini dapat dibuktikan, jika anda meminta permen dan berdoa semoga dalam sekian detik ada permen di tangan, percayalah 100 persen, doa anda tidak akan terkabul. Akan tetapi jika anda minta permen kepada teman kemungkinan besar permen akan anda miliki. Nasakom setidaknya berhasil hadir dalam satu masa di dalam sejarah Indonesia. Soekarno percaya, kekuatan Nasionalis, Agama dan Komunis merupakan tonggak-tonggak yang bisa membuat negara kuat sehingga mereka harus bersatu di bawah kaki Soekarno. Percaya atau tidak, Soekarno tidak sendiri alias Jomblo dalam memperjuangkan Nasakom. Selalu ada pengikut, sehingga jomblo jenis ini bisa dikatakan tidak ada. Jenis kedua Jomblo Ideologis ini adalah Ideologi dan praktik ideologinya membuatnya menjadi Jomblo. Bila kita urai, banyak sekali tokoh yang menjadi Jomblo karena memperjuangkan ideologinya. Salah satu yang paling mashur adalah Tan Malaka. Tan Malaka adalah murid cemerlang di Kweekschool  di Bukittinggi (kini disebut SMA 2 Bukittinggi). Pelajaran yang paling disukainya adalah Matematika. Ia seorang murid yang pintar yang pada usia belum genap 17 tahun sudah akan dinikahkan oleh kaumnya dengan perepuan pilihan kaumnya. Tan Malaka menolak menikah (dengan kata lain memilih Jomblo). Ia hanya memilih pilihan yang kedua, yaitu menjadi Datuk sehingga nama lengkapnya menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka. Kisahnya tidak berakhir di sana saja. Sepanjang hidupnya boleh dikatakan perempuan, apalagi pasangan merupakan hal yang langka bagi Tan Malaka. Mungkin ini semacam "kutukan" ketika dulu ia menolak untuk menikah sehingga sepanjang hidupnya kemudian, jangankan menikah, punya pasangan yang bisa dikatakan serius hampir-hampir untuk menikah tidak ada. Hal tersebut bukan berarti Tan Malaka tidak kenal perempuan. Kehidupan sebagai orang buruan, tidak memungkinkan baginya berbagi cinta dan kemesraan. Ia tidak bisa lama-lama tinggal di suatu daerah karena bisa saja pelariannya terungkap. Dan bagi seorang Marxis seperti Tan Malaka, perempuan mungkin daftar kesekian dalam hidupnya. Ia dan ideologinya merupakan hal yang teramat tinggi sehingga kalaupun ada perempuan yang tertarik, kemungkinan tidak akan bisa cocok. Kita bisa melihat beberapa nama perempuan yang pernah ada dalam kehidupan Tan Malaka. Pertama, Syarifah Nawawi. Perempuan ini merupakan temannya di Kweekschool. Ia perempuan Minang pertama yang mengecap pendidikan ala Eropa. Alasan Tan Malaka menolak dikawinkan karena ia menaksir Syarifah Nawawi. Namun cinta Tan Malaka bertepuk sebelah tangan. Tak satupun surat Tan Malaka yang dibalas oleh Syarifah. Tan Malaka bertambah kesal karena ternyata Syarifah memutuskan untuk menikah dengan bangsawan Sunda, R.A.A. Wiranatakoesoema, Bupati Cianjur. Tempo Edisi Khusus Tan Malaka tahun 2008 menyebutkan R.A.A. Wiranatakoesoema, sudah punya lima anak dari dua selir. Pernikahan Syarifah tersebut memunculkan anekdot di keluarga dan di kalangan penulis sejarah Tan Malaka. Tan menjadi Marxis karena kegagalannya dalam cinta pertama. Dia menjadi amat antiborjuis dan feodal untuk melawan orang yang merebut pujaan hatinya. Daftar perempuan dalam kehidupan Tan Malaka bertambah. Fenny Struyvenberg, mahasiswi kedokteran berdarah Belanda. Ada juga seorang perempuan Rusia yang tidak disebutkan namanya ketika Tan Malaka tinggal di sana selama tiga tahun. Nona Carmen di Kanton, wanita dengan inisial AP di Cina dan terakhir Paramita Rahayu Abdurrachman. Dengan Paramita Rahayu Abdurrachman, Tan Malaka bahkan sempat dikabarkan hampir menikah. Namun lagi-lagi gagal karena berbagia alasan. Menurut Paramita Abdurrachman, Tan Malaka menginginkannya seperti Raden Ajeng Kartini. Ia mengakui mencintai Tan Malaka, namun nasib cinta mereka tidak sampai ke jenjang pernikahan. Bahkan sampai keduanya meninggal, tidak satupun di antara mereka yang sampai menikah. Kepada Adam Malik, yang bertanya apakah Tan Malaka pernah jatuh cinta, Tan menjawab, pernah bahkan sampai tiga kali, yaitu di Belanda, di Filipina dan di Indonesia. Namun ketiga cinta itu hanya cinta yang tak sampai. Tan Malaka berkilah, perhatiannya yang teramat besar kepada perjuangan membuatnya tak sempat memikirkan percintaan. Sampai akhir hayatnya, ketika di tembak di sudut Kediri, Jawa Timur, Tan Malaka tak menikah. Ia adalah semacam Jomblo Ideologis sejati sekaligus Jomblo karena perjuangan kemerdekaan. Ide-ide ideologinya membuatnya tidak sempat memikirkan semacam percintaan atau pernikahan. Kegagalan cinta pertamanya, yang lalu ia coba perbaiki dengan melamar Syarifah yang sudah janda beranak tiga, namun kembali ditolak mungkin cukup berbekas baginya. Daftar Jomblo Ideologis mungkin bisa ditambahkan dengan Bung Hatta. Meskipun tidak sepenuhnya menjomblo sepanjang hayatnya, Bung Hatta menikah (tanpa pernah pacaran atau dekat-dekat dengan perempuan sebelumnya) setelah Indonesia merdeka. Sepanjang hidupnya, baik ketika di Indonesia, lalu di belajar di Belanda dan kembali ke Indonesia kemudian dibuang ke Digul dan Banda Naera, Bung Hatta dikenal sangat menjaga jarak dengan perempuan. Hampir tidak dalam kamus hidupnya kata perempuan sebelum Indonesia merdeka. Ini merupakan sumpahnya, bahwa ia hanya akan menikah setelah Indonesia merdeka. Kehidupan Jomblo Tan Malaka dan Bung Hatta jelas berbeda dengan Sutan Sjahrir dan Soekarno. Sutan Sjahrir sewaktu di Belanda kenal dan berpacaran kemudian menikah dengan Maria Duchateu. Setelah pernikahan dengan Maria gagal, Sutan Sjahrir kemudian menikah dengan Poppy. Apalagi Soekarno, bisa dikatakan tidak ada kata Jomblo dalam hidupnya. Presiden pertama Indonesia ini adalah pecinta ulung hingga punya 10 istri. Setidaknya catatan ini menggembirakan. Saya pikir tidak ada salahnya menjomblo. Apalagi Jomblo Ideologis, sebuah tingkatan Jomblo setara Tan Malaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline