[caption id="attachment_187105" align="aligncenter" width="600" caption="Peluncuran Android Jelly Bean atau Android 4.1, sumber: http://cdn2.ubergizmo.com"][/caption] Isu fragmentasi di sistem operasi Android bukan lagi isu baru. Android memang didera oleh isu ini sejak lama. Kita mengetahui bahkan sampai saat ini masih ada smartphone Android yang berbasis Android versi Eclair, Donut, dan Cupcake meskipun versi terbaru sudah dikeluarkan Google beberapa waktu yang lalu, yaitu Jelly Bean atau Android 4.1. Pertanyaannya mengapa terjadi fragmentasi di Android? Jawabannya cukup mudah, yaitu karena Android diusung oleh banyak vendor. Masing-masing vendor punya UI dan penyesuaian tertentu terhadap versi Android agar sesuai dengan handset yang akan mereka hasilkan. Misalnya HTC jelas berbeda dengan Samsung, demikian juga dengan Sony dan masih banyak lagi vendor-vendor kecil dari China seperti Huawei. Belum lagi jika kita lihat smartphone merek lokal yang kini sudah mulai mengadopsi Android. Hal ini berakibat bermacam jenis Android ada di pasaran. Bahkan masih ada vendor yang mengeluarkan handset terbaru mereka dengan basis Android Froyo. Hal yang lebih mengenaskan, sebenarnya Google sangat cepat dalam merilis versi Android terbaru. Akan tetapi vendor sangat lambat memberikan update versi Android terbaru tersebut kepada pemakai karena harus melakukan penyesuaian sebelumnya ke sekian banyak device yang beredar di pasar. Penyesuaian dan editing ini memakan waktu yang cukup lama yang berakibat lambatnya upgrade. Bahkan pada kasus-kasus tertentu terdapat beberapa device yang tidak menerima upgrade sama sekali. Coba kita lihat laporan Google pada tanggal 2 Juli 2012 yang lalu. Versi Android terbaru, Ice Cream Sandwich yang diluncurkan pada tanggal 19 Oktober 2011 yang lalu baru memiliki pangsa pasar sebesar 10,7 persen. Ini artinya update dari Gingerbread ke Ice Cream Sandwich berjalan sangat lambat. Saya pun mengalami, sewaktu melakukan upgrade dari Froyo ke Gingerbread, butuh waktu hampir satu tahun. [caption id="attachment_187091" align="aligncenter" width="550" caption="Distribusi versi Android"]
[/caption] Tentu saja hal ini merugikan konsumen karena jika handset mereka punya kapabilitas untuk diupgrade ke versi Android terbaru, mereka tidak bisa menikmati fitur-fitur baru yang disediakan Google di versi terbaru tersebut. Misalnya di Android Jelly Bean, Google memberikan fitur pencarian dengan perintah suara yang sudah ditingkatkan untuk berkompetisi dengan Siri Apple Inc. Fitur ini sebelumnya tidak tersedia di versi Ice Cream Sandwich. Ketika konsumen ingin melakukan upgrade agar fitur tersebut bisa dinikmati, ternyata vendor belum menyediakan upgrade yang dibutuhkan. Hal ini tentu saja membuat frustasi. Pertanyaannya, bagaimana caranya agar minimalnya bisa cepat mendapat upgrade sehingga fragmentasi Android bisa dikurangi? Jawabannya salah satunya adalah membeli smartphone Android yang dikeluarkan oleh Google alias smartphone atau tablet dengan flagship Nexus. Nexus mulai yang pertama kali keluar sudah dirancang oleh Google. Vendor hanya bertugas melakukan produksi smartphone tersebut. Semua hal mulai dari rancang bangun, UI dan fitur merupakan buatan Google sehingga peran partner Google sangat minimal. Biasanya setiap Nexus baru yang keluar akan membawa sistem operasi Android terbaru, misalnya Galaxy Nexus yang dibuat oleh Samsung mengusung Android Ice Cream Sandwich dan tablet Nexus 7 buatan ASUS mengusung Android Jelly Bean. Smartphone Nexus yang telah beredar sebelumnya tidak butuh waktu lama sudah dapat diupgrade ke Jelly Bean. Hal ini merupakan keuntungan membeli smartphone atau tablet dengan brand Nexus yang seluruhnya dirancang oleh Google. Dengan membeli Nexus, upgrade sangat cepat diterima sehingga fitur-fitur baru di Android terbaru seketika itu dapat dinikmati konsumen. Sayangnya, brand Nexus bukanlah smartphone Android yang populer alias laku di pasaran. Banyak orang mengatakan bahwa brand Nexus cocok bagi mereka yang suka melakukan tweaking (oprek) atau developer. Meskipun tidak tertutup kemungkinan konsumen biasa juga membelinya. Dengan demikian smartphone Nexus jumlahnya sebagian kecil saja dari keseluruhan smartphone Android yang beredar di pasar. Kita melihat kenyataan bahwa vendor seperti Samsung, HTC, Motorola, dan Sony merupakan pemain besar Android. Samsung sampai saat ini memiliki smartphone paling laku di Samsung Galaxy S II yang terjual lebih dari 2o juta unit. Belum lagi jika kita hitung Samsung Galaxy S III yang beberapa waktu yang lalu diluncurkan. Ini artinya, Nexus bukan jawaban 100 persen benar untuk mengatasi fragmentasi Android. Konsumen tetap saja mengalami bahwa smartphone mereka akan tertinggal sistem operasinya beberapa lama sebelum upgrade dapat dilakukan. Untuk itu, langkah penting yang perlu dilakukan adalah vendor harus lebih bisa memastikan ketersediaan versi Android terbaru. Vendor harus dipaksa agar bisa melakukan upgrade secepat-cepatnya ketika versi Android terbaru dikeluarkan oleh Google. Langkah ini nantinya akan memberikan dampak signifikan terhadap fragmentasi Android. Namun tentu vendor punya ide yang berbeda. Biasanya vendor akan menghasilkan smartphone terbaru dengan sistem operasi Android terbaru terlebih dahulu. Langkah ini tentu saja menguntungkan di sisi vendor. Setelah merilis smartphone dengan Android terbaru, barulah vendor melakukan upgrade smartphone lama ke Android versi terbaru tersebut. Tentu saja langkah ini seperti memaksa konsumen untuk selalu membeli smartphone terbaru untuk bisa menikmati Android versi terbaru. Sumber: Life Hacker, CNet, Business Insider dan Lainnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H