[caption id="attachment_173601" align="aligncenter" width="402" caption="Siapa yang ingin Ganteng? Beli obat ini, sumber: http://jokelucu.com"][/caption] Orang-orang yang bisa membuat lelucon makin jarang saya temui. Kalaupun ada kadang terasa garing (ini contohnya, mang kerupuk?). Sebenarnya saya tidak bisa melucu karena memang dari SD (ingat SD, saya tak kenal TN, Taman Nak-Anak) tidak ada kurikulum melucu. Kadang banyak orang yang sudah berusaha membuat saya tertawa, tetapi dasar saya takut tertawa akhirnya mereka menjadi malas mengajak tertawa bareng (kayak makan siang saja). Dulu waktu di kampung saya nan jauah di mato, ada cerita dari kaset yang sangat lucu menurut ukuran saya yang tak bisa melucu. Judulnya Rapek Mancik (Rapat Tikus), yaitu rapat tikus guna memutuskan siapa yang akan disuruh untuk menggantungkan lonceng di leher kucing sehingga bila kucing datang lonceng tersebut akan berbunyi dan para tikus bisa lari menyelamatkan diri. Cerita ini bisa membuat saya terpingkal-pingkal tertawa bahkan sampai mengeluarkan airmata (buaya). Karena namanya tikus mana ada yang berani menaruh lonceng di leher kucing, itu sama artinya bunuh diri. Hampir setiap malam saya mendengarkan kaset ini, bahkan kakak saya hapal luar otak (bukan kepala) cerita ini. Cerita Rapek Mancik ini sebuah pengandaian bagi mereka yang secara mental loyo untuk berbuat sesuatu dan mencari-cari exit permit dengan berbagai alasan yang ternyata cukup lucu. Demikian juga kadang di kompasiana ini ada banyak orang lucu. Ada yang sebenar-benar lucu seperti BKK, seorang teman seperjuangan naik kereta kalau sedang ada acara ke Jakarta yang semangat PPG-nya Nauzubilah min Zalik. Sebenarnya rata-rata teman saya di sebuah Komunitas, yaitu Koplak Yo band itu pada dasarnya dari orok itu sudah ditakdirkan menjadi PPG sejati, tetapi karena berbagai pengalaman dan kondisi kehidupan, kadarnya berbeda-beda. Nah dari pengamatan saya dari samping pintu kereta Comline, memang BKK yang TE OP BEGETE, yang lainnya KW, kadang KW 1, KW 2 dan tak jarang yang suka KARAWITAN seperti Mbah Djenggot. Kalau mereka yang suka melucu ini dan memang lucu tidak apalah karena sesuai dengan profesi mereka yang pelucu. Semestinya, teman-teman saya ini dan mungkin banyak lagi yang lain di Kompasiana ikut audisi Stand Up Comedy karena kelucuannya jauh lebih hebat dari seseorang yang sering muncul di acara Galau Nite, tetapi benar-benar tidak bisa melucu. Namun ada juga yang lucu bukan karena mereka suka melucu, namun karena emosi. Tidak tahu juga mengapa demikian, tetapi membaca komentar seseorang yang merasa ahli dalam berkomentar, terasa benar emosi dirinya sehingga menimbulkan komentar lucu, lucu bukan karena asli lucu, lucu karena terlihat bodoh. Saya belajar banyak dari berbagai interaksi di kompasiana ini. Satu yang saya pahami adalah emosi-emosi kita tidak seharusnyalah mengendalikan akal pikiran kita. Jika emosi mengendalikan akal pikiran, banyak hal yang tidak lucu menjadi lucu tidak pada tempatnya. Misalnya begini:
Seharusnyalah orang yang menulis di kolom tekno itu orang yang paham betul seluk-beluk tekno ..... bla bla ..bla ....
Saya rasa komentar itu lucu. Saya sebenarnya tertawa ngakak dan tidak ingin membaginya dengan anda sekalian. Mengapa saya tertawa ngakak? Orang-orang ahli di bidang tekno tidak akan menulis di kompasiana. Apa untungnya bagi mereka? Tambahan pendapatan? Tidak ada. Tambahan keterkenalan? Sudah dari sono terkenal, lihat Pak Onno Purbo. Penulis yang ada di kompasiana, umumnya itu mereka yang belajar sambil langsung praktik, istilah dari kampung Pacar Rossi itu Learning By Doing. Namun tidak tertutup mereka yang punya nama menulis di kompasiana karena memang suka berbagi. Mengharapkan orang-orang ahli (menguasai suatu hal tertentu) menulis di kompasiana seperti Katak mengharapkan Tempurung, eh, (silahkan perbaiki sendiri). Hal yang diharapkan, bila anda paham cara kerja Wikipedia adalah pertama sekali konten. Konten yang banyak karena ini menuruti hukum mesin pencari si Mbah Djenggot eh Mbah Google tempat kerja idaman saya sepenuh hati dan jiwa. Setelah konten yang banyak nantinya akan di-crawl (canggih yah, anda pasti tuing-tuing membacanya) dan ditampilkan dalam hasil pencarian. Ini langkah awal anda di kompasiana bahkan di Wikipedia. Langkah kedua, apakah anda cukup puas dengan hanya banyak konten? Ternyata tidak, konten anda harus berkualitas karena si Mbah Google mengupdate algoritma pencariannya (nah anda makin pusing kan?) hampir setiap saat. Untuk bisa tampil di hasil pencarian, tingkatkan kualitas konten anda, ini artinya anda harus belajar, tiada lain, harus belajar. Ini arti penting kompasiana. Bila dulu anda suka melakukan COPAS, sebenarnya dalam tahap munculnya inovasi hal tersebut sesuatu yang bisa diterima. Namun setelah sekian lama, masa masih ngopas aja? Apa nggak malu sama mesin ketik? Makanya bila anda membaca artikel beberapa hari yang lalu tentang enam dari sepuluh artikel Wikipedia itu diragukan kebenarannya, hal itu sesuatu yang wajar terjadi karena setiap orang yang punya koneksi internet bisa melakukan edit dan membuat artikel di Wikipedia. Demikian juga di Kompasian ini. Bila kita teliti seberapa besar sebenarnya artikel yang bisa dijadikan rujukan keilmuan? mmmm coba tanya ke rumput yang diterpa angin puting beliung. Jadi mengharapkan orang-orang yang benar-benar menguasai menulis di kompasiana itu seperti membakar lumbung padi di mana padi telah susah-susah dipanen dan dikumpulkan, tetapi kemudian dibakar. Ada baiknya kita banyak melucu, tetapi bukan karena emosi yang menguasai diri kita disebabkan melihat orang lain selalu lalu-lalang saja di kompasiana. Istilahnya DIA LAGI, DIA LAGI, DIA LAGI ... Nah ini pertanyaan saya yang terakhir, sebenarnya saya ngomong apa sih? Powered: @KoplakYoband
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H