Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Buku SD Membahas Istri Simpanan?

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1334209462473244998

[caption id="attachment_171266" align="aligncenter" width="460" caption="Cuplikan cerita istri simpanan di buku anak kelas 2 SD, sumber: detik.com"][/caption] Beberapa teman di Twitter pagi ini heboh karena sebuah artikel yang ditulis di detik.com mengabarkan bahwa sebuah buku kelas 2 SD muatan lokal Jakarta memuat sebuah cerita tentang istri simpanan. Sejatinya cerita yang ada di buku tersebut mengajarkan tentang perbuatan baik dan perbuatan buruk. Namun contoh yang diberikan sepertinya memang tidak tepat. Apalagi bila kita telusuri lebih jauh bagaimana buku tersebut diterjemahkan di kelas dengan menyuruh anak menghapal cerita tersebut. Bagi saya kejadian tersebut bisa kita telusuri dari beberapa hal. Pertama penulis. Penulis memegang peranan penting, apalagi sebenarnya apa yang akan ditulis tersebut sudah ada rambu-rambunya melalui kurikulum yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, meskipun tidak memberikan batasan detail mengenai satu pokok bahasan tertentu. Melihat cerita yang ada di buku tersebut cukup panjang, saya kira mungkin naskahnya memang seperti itu. Artinya jika ada penulisnya, cerita tentang istri simpanan tersebut sepertinya berasal dari penulisnya. Kedua Editor. Peran editor sangat penting, apalagi di penerbitan buku sekolah. Editorlah yang akan menyesuaikan dengan kurikulum dan menentukan apakah sebuah artikel di dalam buku cukup layak untuk dipertahankan atau sebaiknya dihapus. Sepertinya fungsi editor di buku tersebut hampir tidak ada. Sepanjang pengalaman saya, jangankan tema perselingkuhan atau kata-kata istri simpanan, foto dengan pakaian sedikit terbuka tidak dibolehkan. Kata-kata yang terkait dengan dunia dewasa seperti seks harus dihilangkan. Cerita boleh dibuat sepanjang hal tersebut pantas secara moral dan agama. Kata-kata yang terkait dengan SARA tidak diperbolehkan sampai pada titik yang sangat ketat. Ketiga, pihak sekolah. Walaupun konsumen buku pelajaran adalah murid sekolah, namun keputusan buku mana yang dipakai di dalam proses belajar-mengajar masih ada di tangan sekolah. Meskipun ada buku standar dari Departemen Pendidikan, namun jumlahnya tidak mencukupi. Selain itu sering juga sekolah tidak memakai buku tersebut, misalnya sekolah swasta. Ini artinya sekolah tidak membaca terlebih dahulu buku yang akan mereka beli. Mungkin karena berbagai pertimbangan, sekolah luput untuk mengkritisi buku tersebut. Keempat, Bisnis Buku Pelajaran. Bila anda bertanya, seberapa besar bisnis buku pelajaran di Indonesia mungkin tidak akan ada jawabannya. Bisnis ini cukup menarik dan kadang tertutup dengan berbagai cara, seperti penjualan tidak langsung. Bahkan saya percaya tidak ada perusahaan yang memasuki bisnis buku pelajaran yang mau membuka seberapa besar omzet yang mereka nikmati. Dalam bisnis buku pelajaran ada hal penting yang selalu menjadi patokan, yaitu Kurikulum. Kurikulum tentu saja dirancang dan disusun oleh Departemen Pendidikan Nasional. Selain itu ada juga kurikulum yang berlaku hanya untuk daerah tertentu yang disebut muatan lokal. Muatan lokal ini dicantumkan agar siswa mengenali tempat tinggal mereka secara lebih baik. Kurikulum hanya mencantumkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk sebuah mata pelajaran tertentu. Misalnya mata pelajaran Ekonomi dan Akuntansi, memiliki sekian banyak Standar Kompetensi yang diterjemahkan ke dalam berbagai Kompetensi Dasar. Penerbit yang bergerak di Penerbitan Buku Pelajaran sangat tergantung kepada kurikulum. Kurikulum tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk buku pelajaran. Sayangnya penerjemahan Kurikulum ke dalam buku tersebut hampir tanpa kontrol dari Departemen Pendidikan Nasional secara langsung. Penerbit tentu saja dibantu oleh penulis dalam rangka menerbitkan buku pelajaran tertentu. Sepanjang pengalaman saya dalam bisnis ini, biasanya penulis adalah guru mata pelajaran tertentu. Misalnya jika saya ingin menerbitkan buku Matematika untuk SMA, maka dicarilah guru yang mengajar Matematika ke sekolah tertentu. Namun tidak tertutup kemungkian pihak lain seperti dosen perguruan tinggi juga menulis buku sekolah. Penulis ini diundang datang ke perusahaan dan diberikan kurikulum untuk menulis buku peljaran. Biasanya editor dari pihak penerbit akan memberikan petunjuk, poin-poin apa saja yang akan ditulis oleh penulis yang seringkali sebenarnya tidak bisa menulis. Tidak jarang, naskah yang ditulis guru tersebut sangat jauh mutunya dari yang diharapkan. Penulis yang berprofesi sebagai guru tersebut biasanya akan menulis apa yang diucapkannya di depan kelas sehingga perlu perubahan total terhadap naskah. Dari uraian ini, peran  editor di penerbitan buku sekolah sangat besar. Editor akan mengubah sebagian besar naskah tersebut dan menjadikannya layak dibaca dan sesuai dengan kurikulum tingkatan kelas dan sekolah. Sayangnya tidak ada standar tertentu tentang sejauh mana sebuah topik dibahas dan dijelaskan di buku. Departemen Pendidikan Nasional selama ini sepertinya menyerahkan kepada penerbit untuk membuat batasan semaunya. Misalnya, jika kita membahas tema pasar modal, batasan tegas sejauh mana pasar modal itu dibahas sejatinya tidak dicantumkan. Maka tidak heran, beda penerbit akan berbeda pula pembahasan mereka tentang pasar modal sehingga terlihat jelas memang tidak ada standar yang baku. Untuk mengatasi hal ini sebenarnya Departemen Pendidikan Nasional telah melakukan berbagai penerbitan buku standar yang biasanya dilakukan tiap tahun. Buku-buku yang akan disetujui harus melalui berbagai macam uji kelayakan. Namun tidak semua buku tentunya, hanya buku yang akan didistribusikan secara nasional yang biasanya diadakan hal semacam ini. Selain itu, banyak buku pelajaran yang beredar bebas. Beredar bebas artinya, selain buku standar yang sudah disetujui Departemen Pendidikan Nasional, terdapat buku-buku yang tidak mengikuti uji standar tersebut namun bisa beredar di sekolah. Tentu saja kontrol terhadap buku-buku jenis ini hampir tidak ada. Setiap penerbit akan menghubungi pihak sekolah dan menawarkan buku terbitan mereka. Persoalan mutu buku mungkin dipertimbangkan, namun hubungan kedekatan dengan sales serta besarnya komisi untuk sekolah merupakan hal penting penentu keputusan. Maka tidak heran, buku-buku dari berbagai penerbit, bahkan penerbit kecil yang baru saja berdiri bisa saja masuk ke sekolah. Banyak penerbit yang  tidak menerapkan control quality karena kemudahan dalam menjual buku ke sekolah. Banyak penerbit terutama adalah mengejar Surat Pesanan sehingga kualitas buku tidak menjadi perhatian. Selain itu karena tawaran komisi untuk sekolah merupakan bumbu yang sering mendorong pembuat kebijakan di sekolah memutuskan membeli dari penerbit tertentu tanpa melihat isi buku tersebut lebih dahulu. Jadi jangan heran, munculnya kata istri simpanan,layaknya sebuah sinetron di buku anak kelas 2 SD. Buku tersebut, saya percaya tidak dibaca sebelumnya oleh pihak sekolah sebelum memutuskan untuk membeli. Mereka mungkin karena tawaran komisi atau harga yang jauh lebih rendah tidak lagi memperhatikan isi buku. Bahkan penerbit yang menjual buku tersebut, bisa saja kecele karena ternyata ada bahasan tentang istri simpanan ada di buku mereka. Mungkin mereka akan gelang-geleng kepala mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline