[caption id="attachment_142763" align="aligncenter" width="450" caption="Berdasarkan keterangan gambar ini, Sule merupakan kompasiner eh komedian terfavorit, sumber: lh5.googleusercontent.com"][/caption] Kata blunder terkait dengan suatu tindakan yang dikategorikan sebagai a partycularly a bad mistake. Saya rasa kata ini cukup pas untuk menggambarkan tindakan admin baru-baru ini yang mencomot sepuluh kompasianer untuk dijadikan semacam Idol dengan istilah yang agak malu-malu kucing, Kompasiner Terfavorit. Mengapa dikatakan kata blunder cukup pas untuk tindakan admin atau pengelola kompasiana? Saya kira sebagai sebuah media sosial yang pengguna dan penyumbang artikelnya adalah angotanya sendiri, merupakan suatu kesalahan bila membuat suatu ukuran yang berlaku secara umum tanpa keterlibatan pengguna media sosial tersebut. Apalagi menurut para ahli di kompasiana, pengguna kompasiana tersebut sangat tidak bisa diprediksi. Lebih baik beli saham daripada memprediksi perilaku pengguna kompasiana ini. Dengan demikian akan lebih baik kiranya pengelola kompasiana melakukan hal ini dengan mengikutkan pengguna kompasiana itu sendiri. Bahkan lebih baik lagi jika penilaian tersebut diberikan kriteria tertentu yang tidak berupa pasal karet yang bisa dicarikan dalihnya bila dikritisi. Media sosial, karena kompasiana juga mengaku media sosial, lebih kepada penggunanya. Artinya peranan pengguna sangat dominan, pengelola atau pemilik lebih kepada memberikan layanan dan aturan yang mengikat hingga interaksi di media sosial tersebut dapat berjalan dengan lancar. Nah, jika hal ini dilupakan, seperti tindakan pengelola dengan memilih 10 nominator tersebut, esensi media sosialnya akan hilang. Hal tersebut bukanlah lagi media sosial, tetapi media kuasa pengelola. Tidak heran kebijakan pengelola tersebut dikritisi dan dipertanyakan hingga sampai menilik calon yang terpilih. Tindakan ini tidaklah aneh. Seseorang yang nantinya diberi predikat Idol mestilah memenuhi paling tidak sebagian besar kriteria para pengguna kompasiana. Misalnya, kriteria ketelibatan, jumlah artikel, loyalitas, kualitas artikel, serta mungkin juga kepribadian dan interaksi di dunia nyata. Bila pengguna kompasiana merasa kriteria tersebut tidak terpenuhi, mereka akan bertanya dan mungkin juga mereka menjadi tidak tertarik untuk terlibat dalam kegiatan tersebut. Bagi saya pribadi langkah pengelola yang masih saja diam (mungkin mengumpulkan amunisi untuk berargumen) sampai dengan hari ketiga setelah munculnya polemik tentang salah seorang nominator adalah kesalahan. Banyak kita lihat, kegagalan produk atau suatu jasa tertentu, bukan terletak dari kualitas produk atau jasanya yang jelek, tetapi lebih kepada komunikasi dengan pemakai yang jelek. Pengalaman Twiter sewaktu me-launching TwitPic menunjukkan gara-gara penjelasan yang tidak sempurna kepada pengguna, layanan tersebut kini sepi peminat, padahal sebelum diambil Twitter layanan tersebut cukup diminati. Artinya komunikasi adalah hal penting. Jika anda meremehkan hal ini, tunggulah masanya saingan muncul dengan customer service yang lebih baik untuk mengalahkan produk atau jasa anda. Sebenarnya mengenai komunikasi pengelola dengan pengguna kompasiana ini sudah dari dulu saya kritisi. Maaf saya memang bawel dengan poin ini. Tentunya saya bukan sok menggurui, saya percaya kompasiana yang di bawah grup kompas memiliki orang-orang yang memiliki kapabilits di bidangnya. Namun hal tersebut belumlah cukup jika anda membina sebuah situs dengan pengguna yang banyak dan sangat spesifik seperti kompasiana ini. Kembali kepada esensi media sosial. Pengguna memegang peranan penting dalam media sosial. Bila pengguna merasa tidak nyaman, saran tidak diperhatikan, kritik dikira sakit hati, mereka mungkin masih akan bertahan, namun mereka lebih kepada menggerombol. Mereka mungkin masih menggunakan, namun secara kualitas mereka tidak lagi peduli kualitas yang mereka bagi. Mereka mungkin berada di kompasiana karena temannya sudah ada di sini dan jika keluar tidak enak rasanya. Padahal kompasiana bukan berbasis pertemanan, melainkan artikel sehingga pengguna kemudian bisa berteman. Jika karena pertemanan, mengapa tidak di Facebook? #eh kok serius?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H