Profil klinik GMC, seperti dapat dilihat melalui http://gmc.ugm.ac.id
Selama empat tahun hidup saya sebagai mahasiswa UGM, saya baru pernah beberapa kali periksa ke GMC (mungkin kalau dihitung pakai jari tangan masih sisa). Bukan karena saya tidak pernah sakit (orang saya tiap hari bersin-bersin). Bukan juga karena saya sok kaya atau sok apalah, sehingga tidak mau periksa ke GMC yang notabene klinik kesehatan gratisan bagi civitas akademik UGM. Sebenarnya tidak gratis juga, sih, karena setiap semester, saya membayar iuran kesehatan sebesar Rp 40.000,00. Bukan itu semua, Kawan, melainkan terlebih karena pelayanannya yang (katanya) ramah itu, sehingga saya terharu.
"Ana rega, ana rupa."
Mungkin pepatah Jawa tersebut, yang kurang lebih bisa diartikan sebagai "kualitas suatu barang tergantung harganya", bisa menggambarkan kegelisahan saya terkait pelayanan kesehatan ini. Meskipun di situsnya, http://www.gmc.ugm.ac.id , mereka mengklaim pelayanannya "ramah dan cepat", saya hanya bisa setuju 50%. Okelah, kalau masalah pelayanan cepat, mereka memang cepat. Begitu masuk ke klinik GMC, menunjukkan KTM (sekarang tidak perlu memakai kartu GMC, cukup KTM), petugas front office akan mengklik-klik komputer di mejanya, lalu pasien dipersilakan duduk. FYI, klinik GMC telah menggunakan sistem jaringan komputer terintegrasi dengan software, yang namanya Clinic Information System of GMC, buatan GamaTechno (saya tahu dari sini , atau jika ingin tahu lebih banyak tentang GamaTechno yang keren ini, bisa mengunjungi situs berikut), sehingga semua petugas, termasuk dokter, tinggal klik-klik-klik, dan blash! obat bisa diambil dengan cepat. Iya, dokternya tinggal klik-klik, bahkan kadang tidak menyentuh pasien sama sekali, cuma ditanya-tanya, lalu si dokter menyimpulkan penyakitnya. Bahkan kadang juga tidak sampai melakukan eye-contact dengan pasien, apalagi senyum ramah, lantaran sibuk pencet-pencet mouse komputer.
Baiklah, jika ini yang disebut "cepat", maka saya lebih memilih mengantri lama dan diperiksa dengan lama dan menyeluruh, ketimbang cepat tapi dokternya hanya seperti membaca tubuh pasien secara skimming/scanning/bahkan di-skip-skip kayak iklan di Youtube itu. Wajar, kan, kalau pasien (dalam hal ini saya) menjadi ragu; ragu akan diagnosis dokter. Saya, sebagai pasien yang ingin diperiksa dan diberi pencerahan, akhirnya malah merasa bahwa penyakitnya "disepelekan". Tiap hari saya bersin-bersin karena alergi debu dan suhu, sehingga saya agak menyepelekan penyakit hidung saya itu. Akhirnya, baru-baru ini, bersin-bersin itu jadi parah sekali, hingga saya sulit bernapas dan kepala pusing. Pergilah saya ke klinik GMC, bersama dua teman saya; salah satunya sama-sama meriang seperti saya. Masuk ke ruang periksa, saya disuruh berbaring telentang di ranjang, lalu dokter menyenteri tenggorokan saya (yang waktu itu juga sakit), lalu tanya-tanya sebentar, dan sudah selesai. Begitu mengambil obat, eh, ternyata obat saya sama persis dengan obat teman saya yang meriang itu. Kata dokternya, "Kamu kecapekan, nih, jadi saya beri multi-vitamin, ya." Jeng-jeng-jeng, padahal saya merasa kalau pilek saya itu sudah parah, bukan pilek biasa lagi, apalagi cuma karena kecapekan! Soalnya saya bersin tiap hari, berarti saya kecapekan tiap hari? Tapi nggak tiap hari pilek saya separah ini!
Hanya multi-vitaminnya yang saya minum, karena obat lainnya adalah paracetamol yang bikin ngantuk. Beberapa hari setelah itu, saya periksa ke dokter THT di RSA (Rumah Sakit Akademik) UGM. Di sana, begitu mendaftar, saya disambut oleh petugas front office yang ramah. Meskipun sempat bosan karena menunggu lama sekali sebelum dipanggil ke ruang periksa, rasa bosan itu terbayarkan setelah si dokter memeriksa hidung saya dan berdialog dengan saya dengan ramah dan menyenangkan.
"Jadi, sudah tahu belum, penyakitnya apa?" ujar dokter sambil tersenyum, setelah memeriksa hidung saya.
"Belum, Dok."
"Awalnya kamu ini memang alergi, rhinitis, tapi kalau dibiarkan terus bisa jadi parah, contohnya bisa tumbuh polip hingga harus dioperasi. Saat ini, selain rhinitis, kamu juga sinusitis akut. Untungnya bukan kronis."
(akut = timbul secara mendadak dan cepat memburuk; kronis = menahun; tidak sembuh-sembuh)