Minggu, 20 Oktober 2019, Jokowi dilantik untuk kedua kalinya sebagai Presiden RI. Dalam pidatonya tersebut, blio menyinggung konsep hukum perundang-undangan yang digadang-gadang menjadi omnibus law. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan regulasi yang ada sehingga lebih tepat sasaran.
Pada sekitaran Januari 2020, Pemerintah mengajukan dua omnibus law, yaitu Cipta Kerja dan Perpajakan. yang masing-masing terdapat 11 klaster dan enam klaster. Februari 2020, Pemerintah menyerahkan naskah akademis dan draft RUU kepada DPR untuk dibahas. Jokowi memberi target pada DPR untuk menyelesaikannya dalam waktu 100 hari. Bahkan blio berjanji akan memberikan dua jempolnya apabila DPR mampu menyanggupi targetnya. Bukan sembarang jempol tuh. Dikebutnya pembahasan RUU ini bukan tanpa alasan. Katanya, demi iklim investasi yang lebih baik di Indonesia.
Sedari awal RUU ini telah mendapatkan penolakan keras dari golongan buruh ataupun pekerja. Walaupun begitu, DPR tetap meloloskan Draf RUU Pemerintah ke Badan Legislasi pada April 2020. Atas hal tersebut, serangkaian aksi oleh serikat buruh pun terjadi dimana-mana bahkan hingga menghiasi Trending Topic di sosial media.
Pada bulan Agustus 2020 ketika para buruh masih menggaungkan penolakan terhadap RUU ini, terdapat isu bahwa Pemerintah menggunakan selebritis di dunia maya. Sebab, beberapa seleb mempostingkan dukungannya terhadap RUU ini. Namun Pemerintah menampik isu tersebut.
Ditengah penolakan yang begitu keras, seakan-akan RUU ini berjalan begitu saja. Rapat pembahasannya pun seperti bermain petak umpet dengan masyarakat. Jadi teringat kata Gus Dur, kalau Senayan itu seperti taman kanak-kanak.
Senin, 28 September 2020, RUU Cipta Kerja telah memasuki tahap final. Memang terdapat dua klaster yang dihapus, namun klaster yang paling kontroversial yaitu ketenagakerjaan tetap dipertahankan. Suparman Andi Agtas selaku Ketua Baleg DPR mengatakan blio sudah berusaha untuk menjembatani antara kepentingan pekerja dan pelaku usaha. Tetapi dinamika dan ketegangan yang terjadi begitu luar biasa. Kalau belum ketemu titik temu antara dua pihak, ya tapi kok tetep dilanjut.
RUU ini dilanjutkan hingga ke pembahasan tingkat I pada Sabtu, 3 Oktober 2020 dan disepakati untuk dibahas dalam Rapat Paripurna untuk disahkan. Rencananya Rapat Paripurna akan digelar pada Kamis, 8 Oktober 2020. Namun Rapat Paripurna itu dipercepat menjadi Senin, 5 Oktober 2020. Achmad Baidowi selaku Wakil Ketua Baleg DPR RI mengatakan alasannya masa sidang I tahun sidang I 2020-2021 dipercepat karena bertambahnya laju Covid-19 di lingkungan DPR.
Disaat massa buruh masih tertahan di perbatasan Ibu Kota untuk menyampaikan suara, seakan-akan DPR abai dan berusaha secepat kilat mengesahkan RUU Ciptaker pada 5 Oktober 2020. Jika memang laju Covid-19 sedang meningkat, apa tidak lebih bijak untuk menunda terlebih dahulu daripada harus secara terburu-buru mengesahkannya. Apalagi pengesahan itu mendapat penolakan dari masyarakat yang mengundang unjuk rasa dan terjadinya kerumunan. Padahal kesehatan masyarakat tak bisa diwakilkan oleh kesehatan dewan, suara yang harusnya terwakilkan saja nyatanya juga tidak terwakilkan.
RUU Ciptaker ini telah disahkan dalam Rapat Paripurna, namun masih ada kesempatan bagi masyarakat untuk menjegalnya. Guru Besar FH UGM, Zaenal Arifin Mochtar mengatakan proses penyusunan RUU Ciptaker ini cacat formil, dikarenakan tidak melibatkan partisipasi publik secara maksimal. Apalagi draf akhir dari RUU tidak dibagikan kepada anggota DPR usai dibahas di Rapat Paripurna, rapat itu seperti cek kosong.
Blio menyerukan kepada masyarakat untuk melakukan pembangkangan sipil dan memberikan desakan kepada Presiden untuk tidak menandatangi RUU tersebut. Walaupun tidak berefek apa-apa karena setelah 30 hari akan tetap menjadi UU, setidaknya akan menjadi catatan penting saat proses pengesahan karena pernyataan politik Presiden itu.
Selain pembangkangan sipil, blio juga memberi opsi lain untuk menjegal RUU ini, yaitu dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi apabila RUU Ciptaker telah disahkan menjadi Undang-undang.