Berbicara tentang perekonomian tentu tidak dapat dilepaskan dari kegiatan perdagangan. Sejak dimulainya peradaban manusia, perdagangan dalam konteks sederhana baik itu barter maupun dengan pembayaran uang terus mengiringi perjalanan peradaban. Dari jaman batu hingga kini di era digital perdagangan berlangsung dengan varian cara dan berbagai jenis alat bayar.
Seiring bertambahnya penduduk kota Tangerang, maka permintaan akan barang dan jasa otomatis meningkat. Hal ini menciptakan peluang pekerjaan baru bagi mereka yang memiliki insting usaha. Bagi kelompok perseorangan yang terbatas modal, UMKM pilihan alternatif dan persyaratannya lebih sederhana untuk bisa dipenuhi.
Terlebih ditengah situasi sekarang yang sedang menghadapi pandemi covid-19 banyak sekali masyarakat yang terdampak ekonomi yang kemudian banting setir mengambil kegiatan usaha kecil kategori UMKM sebagai alternatif menyambung hidup. Banyak masyarakat yang tiba-tiba menjadi pengusaha kuliner rumahan, usaha jualan sembako, penyalur air kemasan dan lain sebagainya.
Jauh sebelum pandemi merebak di negara kita, untuk pedagang jenis kaki lima saja di kota Tangerang bisa lebih dari 10.000 (data ini tentu lebih besar jumlahnya pada data disperindagkop kota Tangerang) dengan bermacam barang yang dijajakan dari mulai kuliner, sembako, kelontong, fashion, sepatu, gadget dan lainnya.
Tentu dengan adanya covid-19 jumlah pedagang tersebut bisa bertambah, dan mungkin sulit untuk didata. Disudut-sudut pemukiman dan perumahan banyak tiba-tiba bermunculan meja-meja buka-tutup menjajakan panganan ringan. Belum lagi di samping bahu jalanan, kendaraan pribadi membuka kap bagasi menggantung berbagai barang kebutuhan mulai kebutuhan dapur sampai busana dan juga benda-benda lainnya.
Anomali terjadi bagi industri besar padat modal, pedagang-pedagang berbasis capital, para pemilik toko di mall-mall, dimana dalam situasi Pandemi dengan segala eksesnya menyebabkan mereka harus putar badan, jungkir balik atau bahkan tiarap menutup tokonya. Dengan itu kegiatan UMKM justru banyak menyelamatkan pemasukan, penerimaan masyarakat yang terdampak, terlempar dari gerak putar ekonomi jaringan industri besar.
Terbiasa dengan keterbatasan modal, himpitan hidup dan juga sempitnya fasilitas yang menopang, pelaku UMKM muncul sebagai jawara bertahan hidup. Terlebih usaha mikro mandiri yang selama ini tidak terlihat dan dianggap "remeh" dalam gerak laju perekonomian suatu daerah, justru dalam akumulasi pergerakan uang dan barang nilainya cukup signifikan. Dalam satu penelaahan, rata-rata Individu pelaku Usaha Mikro mandiri, sebut saja pedagang keliling minuman sashet, dalam sehari minimal mereka membelanjakan modal 80.000 s/d 100.000 rupiah.
Untuk modal ini setidaknya mereka akan mengais rezeki pemasukan antara 120.000 s/d 200.000 rupiah, tergantung lokasi dan jarak tempuh serta durasi berjualan. Katakanlah di Kota Tangerang ada seribu saja pelaku usaha mikro mandiri (10 % dari total pedagang kaki 5) maka hitungan remehnya adalah belanja barang modal (kopi, gula, gelas plastik, Rokok, dll) adalah 1000 x RP.100.000,- = Rp.100.000.000,- (seratus juta) / hari.
Berarti sebulan sekitar 3 milyar setiap bulan uang beredar berputar di kalangan pelaku usaha Mikro mandiri kepada warung-warung agen pengecer minuman sachetan, dan pedagang bahan pendukung lainnya. Belum lagi keuntungan yang didapat para pelaku usaha kecil ini yang kemudian distribusinya melumasi perekonomian kecil, seperti membayar kontrakan-kontrakan petak di sudut-sudut gang, membiayai sekolah-sekolah dan menopang kegiatan ekonomi mikro lainnya di lokal daerah. Tentu perhitungan ini perlu penelitian guna memastikan angka sebenarnya. Dan pastinya sangat fantastis jika melibatkan seluruh UMKM yang ada. Hal tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dengan banyak ditutupnya kegiatan masyarakat karena pembatasan, para pedagang kecil, penjaja makanan harus memeras otak menciptakan kreatifitas marketing pemasaran mereka. Yang memiliki akses media sosial tentu tidak sulit untuk mengelola pemasaran produk mereka. Dengan kemudahan media online hambatan pemasaran bisa teratasi. Namun bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses tehnologi, menyodorkan produk langsung kepada konsumen adalah alternatif yang pas tidak rumit dan tanpa perlu register account.
Dengan mengayuh roda sepeda, atau sekedar memelintir gas kendaraan roda dua mereka, konsumen yang memerlukan layanan kopi ala "Cafe" sisi jalan bisa terpenuhi. Layanan satu gelas plastik kopi dan dengan sebatang rokok filter ketengan para penikmat hanya cukup membayar Rp.5000,- rupiah. Ini sudah memenuhi kenikmatan bagi "bang-ojek" online yang sedang rehat dibawah pohon rindang, menunggu orderan.