Lihat ke Halaman Asli

Merekam Keteguhan Orang Mentawai

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1378978720626130969

Judul Buku:Bebetei Uma, Kebangkitan Orang Mentawai: Sebuah Etnografi Penulis: Bambang Rudito Penerbit:Penerbit Gading Cetakan: Cetakan I, 2013 Tebal Buku: xxii+208 Halaman ISBN: 978-979-16776-2-2 Seperti dikemukakan Hildred Geertz, lebih dari tiga ratus ragam suku dan etnis terdapat di Negara Indonesia. Masing-masing kelompok mempunyai kebudayaan sendiri dan dipergunakan lebih dari dua ratus bahasa (hal.iv).Ini menandakan bahwa, Indonesia lebih dari sekedar perwujudan yang menjunjung tinggi ideologinya sebagai bangsa demokrasi dan menyeleraskan prinsipnya sesuai dengan cita-cita pembangunan. Lebih dari itu Indonesia mengusung beban untuk menyatukan dan melestarikan kebudayaan yang dibawa oleh masing-masing suku tersebut. Namun problem dewasa ini, kelompok sukubangsa minoritas di Indonesia mengalami pengucilan kebudayaan dan cenderung dianggap sebagai sukubangsa yang tidak memberi sumbangsih terhadap negara, sehingga negara cenderung apatis dengan perkembangnya. Problem itulah yang memunculkan penderitaan panjang dalam suku-suku minoritas, ditambah lagi sistem nasional telah memposisikan suku minoritas sebagai produk saja, sehingga terjadilah penyeragaman kebudayaan. Dampaknya, suku-suku minoritas semakin tersudut dan tak terperhatikan Di tengah sunyi perhatian dan sepinya penelitian terhadap etnografi, Bambang Rudito mencurahkan perhatiannya lewat buku Bebetei Uma, Kebangkitan Orang Mentawai: Sebuah Etnografi. Dalam buku itu ditulis mengenai kondisi suku Orang Mentawai yang senantiasa mempertahankan tradisinya di tengah kepungan modernitas dan laju perubahan. Upacara Kebangkitan Kepulauan Mentawai terletak di barat Pulau Sumatera, masuk Kapubaten Mentawai, Pripinsi Sumatera Barat. Ibukota kabupatennya adalah Tua Pejat di Pulau Sipora. Ada sekitar 40 pulau, namun hanya empat yang berpenghuni di kepulauan ini, yaitu pulau Sipora, Selatan, Pagai Utaradan Siberut. Sedangkan orang asli Mentawai bersal dari Pulau Siberut (hal.35). Orang Mentawai memiliki kepercayaan yang kuat terhadap roh leluhur. Sebab melalui perantara roh leluhur, manusia yang berada di dunia nyata terhubung dengan dunia ghaib yang diyakini sebagai pengatur individu, relasi sosial dan kontrol sosial terkait dengan nilai-nilai kehidupan. Karenanya, agar hubungan transendental itu terjaga dan berjalan baik, mereka melaksanakan upacara bebetei uma, yaitu serangkaian upacara dengan mantra dan do’a-do’a khusus. Upacara bebeitei uma merupakan kegiatan pembersihan rumah komunal dari pengaruh roh jahat. Dalam upacara ini seluruh anggota keluarga dikumpulkan di rumah komunal (uma) untuk bersatu dengan roh leluhurnya. Jika terjadi penyatuan, maka akan menciptakan keseimbangan dunia nyata dan supranatural, yang menciptakan kesejahteraan hidup anggota keluarganya(hal. 157). Selain itu, bebetei uma dijadikan senjata Orang Mentawai untuk mempertahankan tradisi dan beradaptasi dengan perubahan. Orang Mentawai dituntut beradaptasi dengan perubahan sejak masuknya pranata sosial dari luar, seperti pendidikan, organisasi ekonomi, agama samawi (Katolik, Islam, Protestan) dan perusahaan-perusahaan kayu. Meskipun begitu, dengan upacara bebetei uma Orang Mentawai sanggup menjawab tantangan perubahan dan menyatukan perbedaan masyarakat Mentawai. Sebab bebetei uma tidak hanya mengatur masyarakat Mentawai saja, tapi setiap orang yang datang ke Mentawai wajib ikut sistem sosial Orang Mentawai dan dianggap sebagaimana masyarakat Mentawai lainnya. Selain mempertahankan warisan nenek moyang dan beradaptasi dengan budaya-budaya baru yang dibawa dari luar, salah tujuan upacara bebetei uma tak lain sebagai pranata sosial yang holistik dan menyeluruh bagi masyarakat Mentawai. Dengan upacara inilah sistem diatur oleh Orang Mentawai. Mereka mengatur status, peran dan aktivitas sosial dengan simbol-simbol uma dan bacaan-bacaan yang terkandung dalam ritual bebetei uma. Ciri bebetei uma sebagai pranata sosial, meliputi adanya sistem norma yang mengatur tindakan para anggota dan pimpinan dalam konteks kepentingan individu ataupun komunal. Sistem ini juga mengatur interaksi antar anggota dan pimpinan, sehingga komunikasi antara Orang Mentawai dan masyarakat diluarnya terjalin harmonis. Melalui upacara bebetei uma, Orang Mentawai juga mengatur siklus kehidupannya, mulai dari hubungan dengan leluhur, mata pencaharian, perlakuan terhadap alam, hingga hal terkecil seperti pemberian nama anak (abinem). Dengan ini, mereka mengharapkan keteraturan, kedamaian dan kesejahteraan dalam kehidupan. Sebagai pranata sosial, upacara bebetei uma mampu membentengi diri masyarakat Mentawai di tengah runtuhnya pranata-pranata sosial lain di negeri ini. Nilai yang terkandung di dalamnya telah memberikan pedoman sebagai interpretasi terhadap perubahan yang merasuk dalam tubuh kebudayaan masyarakat Mentawai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline