Lihat ke Halaman Asli

Tadarus Sunyi

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

1; selokan dan risalah sungai yang tak ada dalam kitab
tiba-tiba aku berdiri di tengah kesibukan orang-orang yang berlari menuju rumah yang penuh darah dan mata-mata. tak ada ruang selain bising; deras air kali penuh limbah, teriakan pedagang asongan dan becek lumpur memenuhi jejalan sepanjang los-los pasar. Ada daun yang jatuh ke dalam pikiran, menelusuk, mengerat, menghunjam, perlahan terdengar suara malaikat membisikkan sesuatu, lirih, mengalir, hilir dan sir…

2; menjadi taman di atas sejarah yang salah
aku duduk bersedekap lutut, mengunyah nafas; sesuatu yang tak pernah aku pelajari selain di televisi. Hati meliar membelut kesadaran, tak pernah kulayari samudera-Nya. Sekolah, sekolahan sama saja. Terendap jutaan pasrahku membumikan ingatan hubb dan syauq pada-Mu. Adakah sejarah? Jutaan langkah menjelma duri langai menakik usia yang dekat dengan jatuh dan upacara-upacara menemui tuhan palsu.

3; menuju bukit
Negeri, bangunlah… ada sesuatu yang terlipat di selangkanganmu, diam, pelan… aku tulis rangkai gelisah yang tetirah, tak sempurna menyoal dirinya dengan baris-baris puisi tak jadi dan menjadi guruh yang melahirkan hujan; kau mengajariku tentang senyum dan “memberi”, dan tak pernah kudapat ini pada ijazah dan skripsi. Negeri, mana adil, mana damai… aku kembali menyusun kisah-kisah cinta yang rumit, gelap hati memaksa hendak jatuh di pucuk-pucuk sangobi.

4; berjalan dengan ruh
Dari dadaku melingkar akar gerimis turun dari langit yang berkecubung lepas dari ujub; muasal hubbsyauq tumbuh menisbikan selain rabb. Aku lihat cahaya, cahaya di bukit raksa, blusukan ke rongga-rongga nafas yang kering, jiwa yang kering dan serangkaian ornamen langkah yang kering pula.

5; wasiat dari cahaya
rukuk, sujud, tahiyat; membuka seserpih udara yang melekat di jendela. Aku larung jejak kaki dan sisa debu mengepulkan angin runtuh di keningku. Menapaki tandus angin runcing membelah arsy sampai keharibaan dzikir; diam di antara kesibukan orang-orang yang berlari menuju rumah yang penuh darah dan mata-mata. tak ada ruang selain bising; deras air kali penuh limbah, teriakan pedagang asongan dan becek lumpur memenuhi jejalan sepanjang los-los pasar.
Ha… Hu….; aku temukan sir… di hentak lagu satu, aku temui dzat luruh di keramaian deru shubuh, menyepi dikeriuhan orang-orang yang menjual diri sebagai pesakitan dan zarah-zarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline