Lihat ke Halaman Asli

70 Hari Berlalu

Diperbarui: 4 Februari 2023   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini, pagi ini; tepat tujuh puluh hari berlalu dimana kita duduk terakhir kali di majelis yang kupikir bakal abadi sampai surga. Pagi itu serasa baru kemarin, suasananya masih terekam jelas di memori kepalaku seakan baru terjadi. Kita duduk di dekat pintu mobil yang terparkir, du bawah gerimis, di antara ibu-ibu rempong yang memintaku memegang payungnya.

Iya, kita duduk di bawah gerimis semanis kenangan. Masih mengiang ibu-ibu yang cerewet soal toa yang tiba-tiba mati. Penjual sate dan pecel tepat di tengah pertigaan, penjual air mineral dan ya*ult yang lalu lalang. Kini segalanya kucoba hilang.

Teman cerita hanya sebatas teman cerita saja, tak bisa menjadi teman cerita sepanjang malam, setiap malam, setiap hari, itu khayal yang kuaminkan selama ini. Tak mungkin terwujud sebab beda perasaan.

Andai ingatanmu masih tajam, bagaimana awal aku bercerita, membuka doa dengan mengetuk pintu hati hingga cerita-cerita itu masuk ke dalam sanubarimu. Tentu, aku bercerita dari hati, menanamkan cinta hingga tumbuh Renny seperti saat ini; Renny yang cinta dan dicintai Sayyidah Fathimah.

Dulu kau suka baca, Ren? Tidak, kan? Kau suka karya tulis karena dalam tulisanku kuselipkan hati buatmu yang tak pernah kau sadari dan tak mau kau sadari. Satu coretanku menjadi modal yang judulnya Alunan Biola Kematian yang menjadikanmu sebesar dan sesukses ini di dunia literasi, berbanding terbalik dengaku yang stagnan di zona nyaman. Ini yang membuatmu menolak hadirku?

Iya, aku menyadari kemiskinanku, ketidakmajuanku, keburukanku, dan segala yang telah kau hafal tentangku membuatmu semakin asyik menjauh. Kau yang berpikir ini jalan Tuhan yang terbaik dengan jauh dari orang sehina diriku. Benar katamu, semua yang pergi darimu segera terganti dengan yang lebih baik, dan kau sudah menemukannya sebelum kita berjauhan.

Iya, pendosa selamanya tak layak duduk bersanding dengan pengikut Sayyidah Fathimah. Seperti katamu, kau yang tak bisa asing dengan orang, kau yang tak bisa benci orang, kau yang tak bisa dingin dengan orang, tapi ketidakbisaan itu tak berlaku buatku. Kau yang tiba-tiba dingin, benci, hingga seasing ini.

Setidaknya aku bangga pernah menjadi jembatan yang mengantarmu sampai di titik ini, di titik di mana kau besar, berkumpul dengan orang-orang hebat setiap saat, tiap orang-orang hebat baru yang selalu jauh lebih baik dariku, yang memberi pelajaran jauh lebih banyak dariku.

Awalnya, kita duduk di Simpang Lima yang paling belakang, maju sedikit ke Tengah di Kanzus, maju ke depan di Unnes, lalu kau maju sendirian terdepan di convention hall MAJT, dan kini kau menjadi crew rihlah dakwah Ifah Fathimah Musawwa; aku semakin jauh terbelakang. Harusnya di convention hall MAJT cukup menjadi isyarat bahwa keberadaanku sia-sia. Sukses selalu, Ren!

Kadang aku merasa minder, kemajuanmu luar biasa. Dari bukan siapa-siapa, Tuhan memberi banyak keberuntungan untuk menjadi Renny yang luar biasa. Ruh itu junudun mujannadah, kukira ruh kita sama. Nyatanya, ruhmu ruh pecinta Fathimah dan ruhku ruh pemilik dosa berlimpah.

Jika tak ada bercerita dengan hati, mungkin perjalanan ke Simpang Lima takkan pernah ada. Malam itu begitu indah, Ren. Seakan tangisan kita terbingkai satu nada, air mata kita jatuh di tanah yang sama, meski takdir yang bicara bahwa kita berbeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline