Mengira di kota saja, ternyata provokator itu di setiap wilayah selalu mengacaukan. Provokator itu licik. Di mana keadaan sudah ricuh, dia cepat-cepat menghilang lagi sebab keinginannya sudah tercapai. Kalau orang kampung ketika mendapat berita suka terus dibesar-besarkan sambil dibumbui diimbuhi, tak pernah diteliti berpikir panjang dari siapa, benar atau tidaknya, apa tujuannya dan bagaimana akibatnya.
Tahun kemarin orang Cibuhun yang menjadi korban. Jelas-jelas masyarakat sedang bersemangat berbuat kebaikan, bersuka cita dalam rangka bergotong-royong membangun masjid, malah dihasut, dibisikkan bahwa masjid yang dibangun itu sudah dicampuri uang haram pemberian Mami Rose yang menjadi germo di kota. Seperti jitu bisikannya sebab tiba-tiba saling bergumam membicarakan panitia, menjelek-jelekkan, menggugat malah ada yang mengancam segala. Tak cukup begitu saja sebab kemudian banyak warga yang mengusulkan bangunan masjid itu dibongkar lagi.
Dasar provokator, tidak bisa melihat masyarakat akur dan hidup rukun, selalu mengacau lalu menyebabkan perkelahian atau bentrokan-bentrokan. Yang repot selalu tetua kampung. Siang malam selalu waspada, telinganya dipertajam mendengarkan jangan sampai ada warga yang nekat melakukan tindakan yang akan menyulut amarah yang lain.
Rapat ya rapat, musyawarah apa lagi, tetapi persoalan tetap simpang siur, sulit dibenahi. Sebab panitia maupun warga kurang setuju sama-sama memiliki pendirian masing-masing. Kata panitia, menerima sumbangan dari Mami Rose sebab agar segera selesai, kalau hanya mengandalkan iuran dari warga atau pemberian dari donatur kapan selesainya. Berbeda dengan warga yang kurang setuju.
Membangun masjid harus lebih baik dalam mengerjakannya maupun memfasilitasinya. Kalau pemberian, pemberian dari siapa dan apa usahanya, kalau berdagang dagang apa, apakah halal atau haram, ungkapnya. Kalau begitu bisa dimengerti. Sebab bukankah masjid itu bangunan suci, tempat mensucikan diri, tempat berbakti kepada Yang Maha Suci. Sepantasnya kalau segalanya harus suci.
Oleh sebab semakin banyak kabar terdengar tidak pada tempatnya, akhirnya kelompok pantia pembangunan masjid mufakat menunda segalanya.
Akibatnya, pembangunan menjadi buntu. Kalau sudah begitu siapa yang bertanggung jawab? Diamati seperti yang acuh tak acuh. Dijadikan panitia tidak ada yang sanggup diminta saran, sehingga keadaannya tak menentu. Inginnya yang pasti.
Kalau mau diteruskan tinggal dikerjakan, mau dibongkarpun tinggal dikerjakan. Yang penting maslahst untuk semua. Bukan dibiarkan begitu saja khawatir menambah dosa kepada semua yang ada di situ.
Sayangnya bangunan yang sudah berdiri meskipun belum beratap, mungkin sudah habis berapa. Sehingga, kalau jadi dibongkar, hanya buang-buang dana saja. Kasihan masyarakat Cibuhun kalau harus iuran lagi. Dulu juga begitu sulitnya, walaupun sengaja menyisihkan uang belanja kebutuhan sehari-hari.
Sekarang, bangunan untuk masjid tetap kosong, malah sudah berlumut sebab terlalu lama kehujanan dan kepanasan. Rangkai besi yang belum dicor sudah berkarat, begitu juga kusen-kusennya tampak sudah rapuh. Pasir sisa memakai, yang asalnya menggunduk sudah tercecer ke mana-mana.
Diinjak-injak dipakai main anak-anak, banyak yang hanyut terbawa arus air. Kayu-kayu yang dulu menumpuk belum sempat dipasang, menghilang tak karuan sebab dipinjam dan tak pernah dikembalikan lagi. Kalau sudah begitu siapa yang bersorak? Pastinya juga makhluk provokator.