Dari jendela segalanya terdengar. Suara radio. TV. HP menjerit. Tukang sate berteriak. Klakson motor bersahutan seperti tergesa. Tangis bayi berlomba dengan gonggong anjing. Piring pecah. Tukang sate beradu mulut dengan orang mabuk. Gitar dan suara sumbang menghampiri saling menabrak. Malam yang gerah. Riuh.
Di loteng Yudha memakai kaos singlet, menyangkut di tangan-tangan jendela. Melihat yang semrawut di jalan, di bawahnya. Lampu-lampu seperti berkeringat. Jalan kecil yang diapit oleh bangunan dan bangunan. Banyak pedagang menyalakan lampu petromak. Banyak yang bernafas memghirup angin. Menerpa tubuhnya yang sangat kurus. Menambah gerah hawa kamar kontrakan. Kamar empat kali empat. Neon bergantung. Sepasang cecak berlari ke belakang lemari kayu, cermin dengan pintunya memperlihatkan jam bulat menempel, jarum detiknya tak bergerak. Di ranjang Sari memangku bayi yang tangisnya tersendat-sendat.
"Gimana atuh, Kang? tanya Sari sambil menatap yang pucat dalam dekapannya. Kulit bayi memucat. Bayi umur enam bulan.
Yudha masih melihat ke luar. Meleng. Pikirannya melayang-layang membentur setiap suara yang melesat. Yang meledak. Berhamburan. Wajah Pak Cecep yang memberikan surat PHK, empat bulan ke belakang, sebab dia ketahuan menyebarkan selebaran ajakan demo ke karyawan pabriknya, berkelebat. Bu Cicih menagih uang kontrakan. Mang Darpan marah-marah sebab hutang sudah menggunung.
"Harusnya, dari tiga hari lalu, dibawa ke rumah sakit, katanya." Sari mengelus-elus yang menangis tersedu-sedu. Lalu membuka kemeja, membuka bra, bibir bayi ditempelkan ke payudaranya. Air susunya menetes. Setetes-setetes.
Rumah sakit, baju dokter, ruang-ruang bau obat, seprai putih dan labu infusan membayangi dari sosok gedung-gedung yang berlomba menjulang. Yudha mengepalkan tangan, ditekannya sambil mengaduh. Suara sirine dari jauh meraung-raung nyaring berulang-ulang. Berkeliling mengitari kepalanya. Lampu merahnya berputat berkilauan di mana-mana. Yudha menarik sarungnya ke atas. Menarik nafas tersendat. Melirik ke Sari yang mulai berlinang air mata.
"Diarenya sudah parah. Nggak mau menyusu. Kurang cairan."
Parah. Segala macam sudah parah. Teman-temannya semasa bekerja yang mendesak-desak mengajak demo juga parah oleh rasa takut, bukan membelanya, malah menenggelamkan yang sudah tenggelam. Lebih parah lagi para mahasiswa yang mengotakinya, katanya teman seperjuangan, menghilang entah ke mana, kabarnya diberi amplop. Pak Cecep. Bu Cicih. Mang Darpan. Dokter. Sama. Seperti bukan manusia saja, tidak merasakan kesulitan orang lain. Mesin semuanya juga. Mesin yang sudah tidak punya hati. Yudha semakin lara.
"Ada yang mengintai nyawanya, Kang." Sari meratap. Mengayun-ayun bayi. Merebahkannya di atas kasur. Masih mencoba merawatnya. Menangis semakin pelan. Pelan.
Apa artinya kalau sudah ada yang mencabut nyawa? Yudha bertanya kepada dirinya sendiri. Apa yang membahagiakan kalau meninggal. Surga dan neraka. Apa betul ada kehidupan setelah kehidupan. Kalau betul, mungkin lebih baik dari sekarang. Siapa tahu. Apa artinya hidup disiksa taring-taring nasib?
Pertanyaan terakhirnya menusuk lebih dalam. Melepas nyawa sama artinya dengan melepas kepedihan. Nyawa anaknya, tidak ada bedanya dengan nyawa dirinya dan Sari. Sudah menyatu. Bergulung. Tidak diberikan kalau harus ada yang memisahkan. Siapa sebenarnya yang memiliki nyawa? Kalau benar ada yang akan melepas, semua akan melepas. Yudha sendu.