Mengalir dari serungkup hutan, melalui desa dan kota, bersatu menjadi sungai besar Citarum yang membentang lebih dari 300 kilometer, dari selatan menuju utara pulau Jawa.
Debit sungai sangat besar, tiga bendungan besar Saguling, Cirata, dan Jatiluhur, menyekat dan memanfaatkan aliran airnya untuk sumber listrik di Jawa dan Bali.
Di hulu dulu hutan pernah menjadi penyangga dan penyaring air, namun sedikit demi sedikit orang-orang menebang pohon-pohon untuk bahan bangunan, lahan bekas penebangan dijadikan ladang atau sawah.
Pasir dan batu diangkut, tanah betlumpurnya dimanfaatkan untuk membuat batu bata dan genting, semuanya dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Indahnya Sungai Citarum memikat orang-orang Belanda di masa penjajahan kolonial. Air terjun yang terbentuk di beberapa bagian alirannya menjadi salah satu daya tarik wisata.
Ketika semakin banyak orang mendirikan rumah di sepanjang alirannya, semakin banyak pengrusakan hutan, semakin banyak pasir dan batuannya yang dijual.
Dengan berdirinya tiga bendungan itu, selain bisa memanfaatkan listrik, jaring-jaring (tambak) terapung menjadi usaha sampingan di dalam bendungan. Juga menjadi destinasi wisata di akhir pekan dan di masa liburan. Meskipun alirannya menjadi tidak bebas.
Waktu saya main ke Sungai Citarum beberapa tahun lalu, airnya tidak bening. Beberapa bagian sungai sangat tercemar. Tetapi masih ada orang-orang yang menggunakan airnya untuk mandi, mencuci, dan kakus. Masih ada orang-orang yang memancing ikan. Seolah-olah mereka tidak mencium bau menyengat dari sungai.
Dan ternyata Sungai Citarum masih menjadi salah satu primadona penggiat olah raga di alam terbuka seperti arung jeram, layar, dan selancar.
Di kampung Cisameng, di daerah Rajamandala, di hilir bendungan Saguling, satu segmen sekitar 5 kilometer dari Sang Hyang Tikoro, tempat yang dulu dipercaya membuat Danau Bandung surut sampai jembatan lama, Cipatat, saya melihat river boat memanfaatkan riak dan ombak Sungai Citarum yang masih cukup besar.