Lebaran kali ini aku bersama Putri mudik ke kotanya. Seperti biasa, saat ada di Yogyakarta kami meluangkan waktu untuk jalan-jalan santai di Malioboro.
Ya , Malioboro, dulu adalah jalan lurus sejauh tiga kilometer dari Tugu Yogya sampai alun-alun utara Keraton Yogyakarta. Sekarang di sepanjang jalan ini dibagi menjadi empat ruas dengan nama berbeda. Di ujung selatan namanya Jl. Trikora, mengingat sejarah ketika Bung Karno pada tahun 1961 mengumumkan komandonya pada rapat raksasa di Alun-alun Utara untuk merebut kembali Irian Barat (sekarang Papua) dari Belanda. Dari perempatan Kantor Pos Besar sampai perempatan kepatihan Danurejan namanya Jl. Jend. A. Yani. Sedangkan Jl. Malioboro letaknya dari ujung Jl. Jend. A. Yani sampai pintu kereta api Hotel Garuda. Kemudian di bagian utara namanya Jl. Pangeran Mangkubumi.
Yang menarik di Malioboro... di siang hari menjadi pusat suvenir khas Yogyakarta. Di malam harinya berubah menjadi restoran (warung-warung lesehan) yang terbentang, dari pukul 20:00 WIB, ketika toko-toko sudah pada tutup. Wilayah ini aktif dua puluh empat jam.
Semakin larut malam warung-warung lesehan semakin ramai pengunjung. Musisi-musisi jalanan pun mulai beraksi, seolah berlomba memberi lagu-lagu terbaik untuk para pengunjung yang asyik makan. Tidak asal ngejreng lalu pergi setelah mendapat honor mengamen. Bagi mereka yang baru pertama kali mendengar alunan musik dan lagu yang para pengamen mainkan akan tercengang karena kualitas layaknya musisi profesional. Bahkan ada group musik yang hampir setiap malam membawa bass betot, gitar, biola, gendang,...membuat Malioboro menjadi panggung orkestra besar terbuka. Aku sempat terhenyak saat ada beberapa orang yang meminta para musisi ini memainkan Beethoven, Kenny G., atau irama Jazzy, mereka bisa.
Selalu terlintas di benakku, ini menjadi daya tarik. Ya suasana Yogya seperti ini yang para pengunjung cari. Bukan sekadar makan-makan lalu pergi begitu saja. Padahal tempat duduknya hanya beralaskan tikar. Warung-warung lesehan yang berjejer bertuliskan nama dan makanan seperti gudeg,burung dara dan ayam goreng, dan yang lainnya, hanya disekat kain.
Yang membuatku selalu penasaran nama daerah ini Malioboro, selalu ingin bertanya ke orang Yogya langsung bukan mencarinya di mesin pencari (Google). Akupun menanyakannya kepada Putri, belahan jiwaku, "Put, mungkin kamu tahu sejarahnya, kenapa daerah ini disebut Jl. Malioboro?"
"Ndak tahu Mas, kalau bakphia pathuk saya tahu...Browsing saja di Google he he he..." jawabnya malu-malu.
Padahal setiap orang yang pernah datang ke Yogya, wisatawan domestik dan asing sudah sangat mengenal Jl. Malioboro.
Ya akhirnya aku harus mencarinya di Google, dan menemukan sejarah Malioboro di www.warintekyogya.com. Pembesar-pembesar Inggris saat menjajah Hindia-Belanda memberi nama daerah ini Jl. Marlborough (dibaca Marlbere). Sulit untuk orang Jawa membaca dan mengucapkannya, biar enak dan tidak perlu menekuk lidah maka disebutlah Malioboro.
Dalam sejarah Inggris Marlborough adalah nama daerah di sana yang berasal dari nama seorang bangsawan panglima perang dan negarawan. Bahkan namanya diabadikan di Marlborough House, tempat Konferensi Persemakmuran ( wadah negara-negara bekas jajahan Inggris, seperti Australia, Malaysia, Singapore, dan negara-negara persemakmuran Inggris lainnya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H