Pendidikanmu tinggi, karirmu mantap di sebuah perusahaan bonafid dengan gaji dan fasilitas yang menggiurkan. Kau pun bisa membagi waktu antara karir dan keluarga. Dengan dua anak yang tak berbeda jauh umurnya, membuatmu harus pintar me-manage waktu dan perhatian. Suami yang sama-sama bekerja ternyata tidak lantas membuat perekonomian keluargamu membaik, namun justru memburuk. Gaji yang terpotong hutang sana-sini tanpa tahu kemana dan untuk apa hutang itu. Hakmu sebagai istri untuk tahu detil penghasilannya tak diindahkan. Hanya empat lembar uang merah seratus ribuan yang engkau terima tiap bulannya, makian tak peduli walau di tengah jalan, dan kekerasan fisik pada tubuh kurusmu. Engkau diam, menangis, lantas mengurut dada dan beristighfar.
Bulan berganti tahun tetap membuatmu sabar hingga kau berada pada titik panas tertinggimu. Langkah kakimu tersungkur, kepala tertunduk dengan buliran airmata yang tak sanggup lagi kau tahan. Tangismu pecah di pagi hari, diruang tamu kecilku. Apa yang bisa kuperbuat teman selain memeluk dan memberimu kekuatan moril ? Kata demi kata kau ucapkan, tarikan nafasmu rasanya seperti tersendat di ujung tenggorokan, " Aku sudah tidak kuat, Mbak ", jawabmu ketika kutanya apa sebabnya.
Mataku tak berkedip memandangmu. Wajah tirus dan badan kurusmu sudah cukup memberiku jawaban bagaimana penderitaanmu selama ini. Apa yang bisa kulakukan selain memberimu nasehat untuk bertahan dan memikirkan apa ini langkah yang siap kau tempuh. Walaupun aku tahu ini hanya teori karena kenyataan kadang tak berpihak pada kaum perempuan. Kau langsung menjawab, " Aku siap karena aku sudah tidak punya harga diri lagi di matanya. Dia sakit jiwa, Mbak "
Diskusi dan tukar pikiran sudah kita lakukan. Jika ini adalah keputusan yang kau anggap terbaik, lakukan. Kau tetap ingin berbakti, tapi jika panutan hatimu sudah mengingkari janji untuk menjagamu, bergeraklah. Perjuangkan apa yang menjadi hakmu sebagai perempuan dan ibu dari anakmu. Jaga harga dirimu sebagai manusia. Tak akan datang hidup barumu tiba-tiba tanpa kau perjuangkan.
Lakukan apa yang sudah kita diskusikan. Hanya dukungan moril yang bisa kuberikan untukmu, teman. Pagi tadi kau telah melangkah kesana, walau akhirnya kau mengabarkan harus ada jalan ke kiri yang harus kau tempuh dulu, tidak lurus ke depan seperti yang kau harapkan. Bukan ini yang kau minta tapi ini yang terpaksa harus kau lakukan.
* Untuk para perempuan yang sedang berjuang di Pengadilan Agama :(
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H