Indonesia merupakan suatu Negara yang menganut sistem demokrasi. Dimana para warganya menggunakan hak pilih dalam memilih pemimpin negaranya. Namun tidak semua masyarakat mampu ikut berpartisipasi dalam kegiatan memilih yang bisa disebut event lima tahunan ini.
Pasti ada saja suatu hal yang menghalangi para masyarakat untuk menuaikan coblosannya pada surat suara di suatu pemilihan. berbagai alasan mampu mereka tuaikan, namun tidak keseluruhan hal itu di lakukan dalam kondisi sengaja.
Masyarakat tersebut diberi nama Golongan Putih (GOLPUT). Golput memilih membungkam hak pilihnya pada suatu pemilihan alias coblosan. Perlu di pertanyakan, apakah kegiatan golput diperbolehkan? Dan atas dasar apa mereka lebih memilih golput?
Memilih dalam Pemilu merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia yang sudah memiliki KTP. Akan tetapi bagi mereka yang memutuskan tidak memilih dengan alasan apapun, sebenarnya tidak menyalahi aturan, sehingga tidak dapat dipidanakan.
Meski begitu, terdapat suatu larangan menghasut atau mengajak orang lain untuk ikut berbuat golput. Dimana larangan tersebut tertera pada Pasal 308 UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu.
"Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan, dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara, atau menggagalkan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)." Pasal 308 UU No.8/2012 tentang Pemilu.
Pasal tersebut menunjuk kepada seseorang yang menghalangi siapa saja untuk memilih, maka orang tersebut dapat di kenai sanksi hukum. Tetapi aturan ini tidak berlaku jika, seseorang memilih golput atas kemauanya sendiri.
Terdapat beberapa penyebab mengapa seseorang melakukan golput, yaitu yang pertama, tidak adanya undangan atau ketiadaan kartu bagi pemilih. Kedua, terhalangnya suatu hal seperti pekerjaan yang memang tidak bisa dikondisikan atau bisa juga mengalami sakit yang parah.
Ketiga, waktu dan tempat pemilihan tidak disampaikan, sehingga para pemilih memiliki informasi yang minim. Keempat, pandangan negative terhadap pemilu, hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya sikap demokrasi pada setiap individu atau individu tersebut merasa kecewa atas penyelenggaran pemilu sebelumnya.
Oleh : Kiki Anggia Wahyuni (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H